Jumat, 08 Februari 2019

Sejarah peradaban islam di Persia









BAB I
PENDAHULUAN
    A.    Latar Belakang
Kedatangan Islam di daratan Arab membawa pengaruh positif terhadap perkembangan peradaban bangsa Arab yang sebelumnya dikenal sebagai bangsa yang terbelakang, bodoh,  tidak dikenal dan selalu diabaikan oleh bangsa-bangsa lainnya, menjelma menjadi bangsa yang maju sehingga mampu membina satu kebudayaan dan peradaban yang mempunyai arti penting dalam sejarah manusia hingga saat ini. Hal ini tampaknya sangat dimengerti mengingat ajaran Islam telah diwahyukan pada orang yang tepat, yakni Muhammad bin Abdullah yang merupakan salah seorang cucu dari pemuka Quraisy bernama Abdul Muthalib.
Meskipun demikian, bukan berarti perjuangan Muhammad berjalan mulus tanpa halangan dan rintangan.Sejarah mencatat, sebelum Islam berkembang menjadi sebuah peradaban yang maju seperti saat sekarang ini, banyak rintangan yang telah berhasil dilalui dengan baik oleh Muhammad pada awal perkembangan Islam. Baik rintangan itu datang dari kerabat atau family maupun dari suku atau kabilah lain yang merasa terusik dengan kedatangan ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad.
Dalam perkembangannya, Islam mendapat sambutan hangat dari seluruh masyarakat dataran Arab dan mayarakat di negara-negara sekitarnya mulai Persia hingga Andalusia (Spanyol).Hal ini ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam berskala besar seperti dinasti Umayyah II di Andalusia dan kerajaan Safawi di Persia.Kerajaan terakhir ini cukup menarik disimak mengingat pada awal perkembangan Islam, negara Persia termasuk ke dalam negara yang menolak kehadiran Islam bersama dengan negara Romawi.
Masuknya peradaban Islam di Persia dimulai sejak pecahnya kekhalifahan Abbasyiah di Baghdad. Seorang sejarawan dari India bernama Jurji Zaidan mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul History of Islamic Civilization, bahwa sejak kekhalifahan Abbasyiah di Baghdad melemah, banyak berdiri kerajaan-kerajaan kecil berbangsa Persia seperti:
Ø  Thahiriyyah di Khurasan        (205-259 H/820-872 M)
Ø  Shafariyah di Fars                  (254-290 H/868-901 M)
Ø   Samaniyah di Transoxania     (261-389 H/873-998 M)
Ø  Sajiyyah di Azerbaijan           (266-318 H/878-930 M)
Ø  Buwaihiyyah di sebagian besar kota Baghdad (320-447 H/932-1055 M). [1]
B.     Rumusan Masalah
1.      Sejak kapan perkembangan peradaban Islam di Persia dimulai?
2.      Bagaimana proses perkembangan peradaban Islam di Persia?
3.      Dinasti Apa Sajakah Yang Berdiri Di Persia?
C.    Tujuan Masalah
1.      Menjelaskan kapan perkembangan peradaban Islam di Persia dimulai
2.      Untuk Mengetahui proses perkembangan peradaban Islam di Persia
3.      Untuk Mengetahui Dinasti Apa Sajakah Yang Berdiri Di Persia



BAB II
PEMBAHASAN
    AAwal Peradaban Islam di Persia
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa perkembangan peradaban Islam baru bekembang di Persia sejak dinasti Abbasyiah di Baghdad mengalami kemunduran.Namun demikian, perkembangan peradaban Islam kala itu masih sebatas permulaan. Sejatinya, perkembangan peradaban Islam di Persia dimulai sejak berdirinya kerajaan Safawi yang dipelopori oleh Safi al-Din yang hidup sejak tahun 1252 hingga 1334 M.[2] Kerajaan ini berdiri di saat kerajaan Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan ini pertama kali dipimpin oleh Ismail.Ia berkuasa kurang lebih selama 23 tahun, yakni antara tahun 1501 sampai 1524 M.
Kerajaan Safawi itu sendiri berasal dari sebuah gerakan tarekat bernama Safawiyah yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat Safawiyah ini didirikan bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani di Turki. Hingga di masa perkembangannya, nama Safawi ini terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik.
Sebagai pendiri kerajaan, Safi al-Din dikenal sebagai pribadi yang agamis.Ia merupakan keturunan Musa al-Kazhim yang terkenal sebagai imam Syi’ah yang keenam. Setelah ia berguru dengan Syaikh Taj al-Din Ibrahim Zahidi dan menjadi menantunya, ia mendirikan tarekat Safawiyah pada tahun 1301 M. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah ini bertujuan untuk memerangi orang-orang ingkar dan golongan Ahl al-Bid’aH Namun pada perkembangannya, gerakan tasawuf yang bersifat lokal ini berubah menjadi gerakan keagamaan yang mempunyai pengaruh besar di Persia, Syria dan Anatolia. Di negeri-negeri yang berada di luar Ardabil  inilah, Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang diberi gelar Khalifah untuk memimpin murid-murid di daerahnya masing-masing.[3]

 B. Proses Perkembangan Peradaban Islam di Persia
Peradaban Islam di Persia berkembang cukup cepat.Hal ini ditandai dengan mulai meluasnya daerah kekuasaan pada masa kepemerintahan Abbas I yang menjadi raja kelima dari dinasti Safawi.Meskipun pada masa pemerintahannya sering terjadi perebutan daerah kekuasaan dengan kerajaan Turki Usmani yang notabenenya sebagai sesama kerajaan Islam, namun pada masa pemerintahannya inilah, perkembangan peradaban Islam mulai berkembang pesat.
Ahmad al-Santanawi mengungkapkan bahwa perkembangan peradaban Islam di Persia diawali dengan penunjukkan kota Isfahan sebagai Ibu kota kerajaan Safawi pada saat Abbas I menjadi penguasa kerajaan Safawi. Kota ini merupakan gabungan dari dua kota sebelumnya, yakni Jayy dan Yahudiyyah yang didirikan oleh Buchtanashshar atau Yazdajir I atas anjuran istrinya yang beragama Yahudi.[4]
Terjadi perbedaan pendapat tentang kapan kota ini masuk dalam wilayah Islam. Pemdapat pertama mengatakan bahwa penaklukkan kota ini terjadi pada tahun 19 H atas perintah khalifah Umar Ibn Khattab. Sedangkan pendapat kedua yang beraliran Bashrah menyebutkan bahwa kota ini ditaklukkan pada tahun 23 H di bawah pimpinan Abu Musa al-Asy’ari. Namun terlepas dari kedua perbedaan di atas, al-Santanawi menyatakan bahwa Isfahan menjadi kota penting sebagai pusat industri dan perdagangan setelah penaklukkan kedua terjadi pada masa dinasti Abbasiyyah.[5]
Dengan demikian, peradaban Islam di Persia mulai berkembang pesat setelah kota Isfahan berhasil ditaklukkan oleh bala tentara Dinasti Abbasiyyah untuk yang kedua kalinya. Berangkat dari fakta ini, dapat disimpulkan bahwa proses perkembangan peradaban Islam di Persia dilakukan dalam rangka perluasan daerah kekuasaan.
    C.  Kemajuan Peradaban Islam di Persia
Sebagaimana diketahui bahwa antara kebudayaan dan peradaban memiliki arti yang hampir sama. Namun dari kesamaan arti tersebut terdapat perbedaan dalam hal perwujudannya. Kebudayaan lebih diwujudkan dalam hal seni, sastra, religi dan moral.Sedangkan peradaban lebih diwujudkan dalam hal politik, ekonomi dan teknologi.[6]Demikian juga dengan kemajuan peradaban Islam di Persia.
Keberhasilan raja Abbas I dalam merebut kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya menjadi tolak ukur kemajuan peradaban Islam di Persia khususnya dalam bidang politik. Selain kemajuan di bidang politik, raja Abbas I juga telah membawa peradaban Islam menuju masa keemasan di bidang yang lainnya seperti ekonomi, ilmu pengetahuan dan pembangunan.
Di bidang ekonomi, raja Abbas I berhasil mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pusat perdagangan yang berada pada jalur penghubung antara Timur dan Barat.Sebelum dikuasai sepenuhnya oleh kerajaan Safawi, pelabuhan ini pernah diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis.Di samping itu, raja Abbas I juga berhasil menjadikan daerah Bulan Sabit Subur (Fortile Crescent) sebagai daerah yang maju di sektor pertanian. 
Sedangkan di dunia IPTEK, Persia masa itu berhasil melahirkan ilmuwan-ilmuwan handal seperti Baha al-Din al-Syaerazi, Sadar al-Din al-Syaerazi (filosof) dan Muhammad Baqir Ibn Muhammad Damad yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah. Mereka inilah yang selalu hadir di majlis istana untuk mengisi setiap kajian yang diadakan di sana. Pada masa ini, Persia bisa dikatakan lebih maju jika dibandingkan dengan daerah dari kerajaan lain pada masa yang sama.
Pada masa kejayaan inilah, kota Isfahan yang menjadi pusat perkembangan peradaban Islam dihiasi dengan bangunan-bangunan berarsitektur tinggi. Hal ini bisa dilihat pada arsitektur masjid Syah yang dibangun pada tahun 1611 M. Pada pintu masjid ini terdapat lapisan perak
yang membuat masjid ini terlihat begitu megah. Selain itu, di komplek salah satu masjid terindah di dunia ini terdapat lapangan serta taman yang masih terawat hingga sekarang. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum. 

    D.  Dinasti – Dinasti yang Berdiri di Persia
1      1. Dinasti Qajar
a.      Sejarah Berdirinya Dinasti Qajar
Dinasti Qajar (juga dikenal sebagai Ghajar atau Kadjar) atau dalam bahasa Persia: (سلسله قاجاریه - atau دودمان قاجار ) adalah sebutan umum untuk menggambarkan Iran (kemudian dikenal sebagai Persia) dibawah keluarga Dinasti Qajar yang berkuasa yang memerintah Iran sejak 1794 hingga 1925. Pemimpin Dinasti Qajar dan sekaligus pendiri kepemerintahan yaitu Agha muhammad Khan  dan ditetapkan sebagai syah (kaisar atau raja) 1779-1797 M.
Qajar adalah Dinasti yang berkuasa di Persia dan berpusat di Iran selama kurang lebih 150 tahun (1779 – 1924).Nenek moyang Dinasti Qajar adalah bangsa Turki. Selama abad ke-14, mereka bergerak memasuki kawasan Persia, Irak dan kawasan lain di Timur Tengah. Nama Qajar sediri diambil dari nama salah seorang tokoh mereka, yaitu Qajar Noyan, putra Sertaq Noyan, yang bekerja pada Dinasti Ilkhaniyah sebagai tutor Gazan Khan. Karir Qajar Noyan berakhir dengan dengan kematiannya di tangan Raja Baidu (w. 1295), karena tuduhan bersekongkol dengan penguasa sebelumnya yaitu Gaykatu (1291 – 1295).[7]
Pada awal abad ke-16, suku Qajar tampil memainkan peran dalam pejalanan sejarah Islam ketika ia besama enam suku Turki lainnya bergabung dalam barisan tentara Qizilbash ikut mendirikan Dinasti Safawi. Mengiringi kejatuhan Dinasti Safawi, Persia memasuki masa panjang pergolakan politik dan sosial. Suku Bakhtiyari, Qasyqayi, Afsyari, Zand dan Qajar saling betempur memperebutkan dominasi pusat kekuasaan. Pergolakan politik dan sosial tersebut baru berakhir ketika Aga Muhammad Khan, dari suku Qajar berhasil menduduki singgasana kerajaan. Kemudian ia menggalang aliansi militer dengan suku Bakhtiyari dan Afsyari untuk menaklukkan wilayah tengah Persia. Dan dengan bantuan penguasa propinsi Syiraz, Aga Muhammad Khan berhasil mengalahkan Dinasti Zand, sehingga daerah selatan Persia jatuh ke tangannya. Pada tahun 1779 Aga Muhammad Khan menjadi penguasa de facto atas hampir seluruh wilayah Persia.

       2. Dinasti Safawiyah
a.  Sejarah Terbentuknya Kerajaan Safawiyah Di Persia
Awalnya Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azeraijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani. Nama Safawiyah, diambil dari nama pendirinya, Safi Al-Din (1252-1334 M) dan nama Safawi itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil  mendirikan kerajaan, yakni kerajaan Safawi.
Safi Al-din Berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia keturunan dari Imam Syi’ah yg keenam, Musa Al-Kazhim. Gurunya bernama Syaikh Taj Al-Din Ibrahim Zahidi (1216-1301) yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani.Karena prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Safi Al-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut. Safi Al-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M. pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “ahli-ahli bidah”. Tarekat yang dipimpin Safi Al-Din ini semakin penting, teutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat local menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria, dan Anatolia. Di negeri-negeri diluar Ardabil Safi Al -Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar “khalifah”[8]
Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerap kali menimbulkan keinginan dikalangan penganut ajaran itu untuk berkuasa.Karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratut, fanatic dalam kepercayaan, dan menantang setiap orang yang bermahzab selain Syi’ah.
Kecendrungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud konkretnya pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460 M).  dinasti Safawi memperluas geraknya dengan menambah kegiatan polotik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara Juneid dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wulayah itu.Dalam konflik tersebut, Juneid kalah dan diasingkan kesuatu tempat. Di tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK-Koyunlu (domba putih), juga satu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian Persia.
Selama dalam pengasingan, Junaed tidak tinggal diam. Ia malah dapat menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara polotik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Juneid mencoba merebut Ardabil tetapi gagal. Pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircassia tetapi pasukan yang dipimpinnya terhadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut.
Ketika itu anak Juneid, Haidar, masih kecil dan dalam asuhan Uzun Hasan.Karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa diserahkan kepadanya secara resmi pada tahun 1470.Hubungan Haidar dengan Uzun Hasan.Dari perkawinan ini lahirlah salah seorang putrid Uzun Hasan.Dari perkawinan ini lahirlah Ismail yang dikemudian hari menjadi pendiri kerajaan Safawiyah di Persia.
Kemenangan AK Koyunlu tahun 1476 M terhadap Kara Konyunlu, membuat gerakan militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh AK Koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya.Padahal, sebagaimana telah disebutkan, Safawi adalah sekutu AK Koyunlu.AK Koyunlu berusaha melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan Dinasti Safawi.Karena itu, ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, sehingga pasukan Haidar kalah dan Haidar sendiri terbunuh dalam peperangan itu.
Ali, putra dan pengganti Haidar, didesak oleh bala tentaranya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap AK Koyunlu.Tetapi Ya’kub pemimpin AK Koyunlu dapat menangkap dan memenjarakan Ali bersama saudaranya, Ibrahim dan Ismail, dan ibunya, di Fars selama empat setengah tahun (1489-1493 M).mereka dibebaskan oleh Rustam, putra mahkota AK Koyunlu, dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. Setelah saudara sepupu Rustam dapat dikalahkan.Ali bersaudara kembali ke Ardabil.Akan tetapi, tidak lama kemudian Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara, dan Ali terbunuh dalam serangan ini (1494 M).
Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada ditangan Ismail, yang saat itu masih berusia tujuh tahun. Selama lima tahun Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syria, dan Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan itu dinamai Qizilbash (baret merah).
Dibawah pimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu di Sharur, dekat Nakhchivan. Pasukan ini terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, ibu kota AK Koyunlu dan berhasil merebut serta mendudukinya. Dikota ini Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama dinasti Safawi.Ia disebut juga Ismail I.[9]

       3.  Dinasti Samaniah
1.      Sejarah Pendiriannya
Pendiri dinasti ini adalah Ahmad bin Asad bin Samankhudat. Nama Samaniyah dinisbahkan kepada leluhur pendirinya yaitu Samankhudat, seorang pemimpin suku dan tuan tanah keturunan bangsawan terkenal di Balkh, sebuah daerah di sebelah utara Afghanistan. Dalam sejarah Samaniyah terdapat dua belas khalifah yang memerintah secara berurutan.[10]
Dalam sejarah Islam tercatat bahwa dinasti ini bermula dari masuknya Samankhudat menjadi penganut Islam pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik (khalifah Bani Umayyah), sejak itu Samankhudat dan keturunannya mengabdikan diri kepada penguasa Islam. Pada masa kekuasaan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M) dari Dinasti Bani Abbasiyyah, empat cucu Samankhudat memegang jabatan penting sebagai gubernur dalam wilayah kekuasaan Abbasiyah yaitu Nuh di Samarkand, Ahmad bin Asad di Farghana (Turkistan) dan Transoksania, Yahyabin Asad di Shash serta Asyrusanah (daerah di utara Samarkand), dan Ilyas di Heart, Afghanistan.[11]
Seorang cucu Samankhudat yang bernama Ahmad bin Asad, dalam perkembangannya mulai merintis berdirinya Dinasti Samaniyah didaerah kekuasaannya, Farghana. Ahmad mempunyai dua putra, Nasr dan Isma’il, yang juga menjadi orang kepercayaan Abbasiyah. Nasr I bin Ahmad dipercaya menjadi gubernur di Transoksania dan Isma’il I bin Ahmad di Bukhara. Selanjutnya Nasr I bin Ahmad mendapat kepercayaan dari khalifah al-Mu’tamid untuk memerintah seluruh wilayah Khurasan dan Transoksania, dan daerah ini menjadi basis perkembangan Dinasti Samaniyyah. Oleh sebab itu Nasr I bin Ahmad dianggap sebagai pendiri hakiki dinasti ini.

4.      Dinasti Buaihi
1.                a. Sejarah Dinasti Buaihi
Bani Buwaihi mulai dikenal dalam sejarah adalah pada awal abad ke-4 Hijriah. Bani Buwaihi yang kemudian memegang kekuasaan di dalam Daulah Abbasiyah pada mulanya berasal dari tiga orang bersaudara, yaitu Ali, Al Hasan  dan Ahmad. Ketiganya adalah putra dari seorang yang bernama Buwaihi.
Buwaihi ini berasal dari keluarga miskin yang tinggal di suatu negeri bernama Dailam.Ia adalah seorang rakyat biasa yang kehidupan sehari-harinya sebagai pencari ikan. Ketiga orang anaknya pada mulanya juga mengikuti kehidupan dan pekerjaan sehari-hari ayahnya.Walaupun mereka berasal dari keluarga miskin, namun keluarga ini terkenal dengan keberaniannya.Watak keberanian ini memang sudah keturunan dari kakek mereka yang bergelar Abu Suja’, yang berarti bapak pemberani.Di dalam diri ketiga putranya ini tentu telah mengalir darah pemberani itu.Hal ini terbukti setelah ketiga bersaudara ini jadi tentara.
Kakak tertua, yakni Ali Ibn Buwaihi karena keberanian dan kecakapannya diangkat menjadi komandan tentara.Ia membawa kedua adiknya pindah dari negeri mereka ke ibu kota Daulah Abbasiyah Baghdad. Sebagai tentara yang punya keberanian tinggi ketiga bersaudara ini mengabdikan diri kepada orang-orang penting dalam Daulah Abbasiyah untuk melindungi mereka dari bahaya yang mengancam.Berkat langkah maju yang ditempuh oleh Ali Ibnu Buwaihi akhirnya dapat masuk ke dalam pusat kekuasaan khalifah. Berawal dari perjuangan inilah ia berhasil mengangkat nama negeri Dailam ke kawasan Timur dan Barat. Pada gilirannya mereka menjadi penguasa di ibu kota Baghdad, dimana kekuasaan mereka di kenal di dunia Islam Timur dan Barat.
Selama kekuasaan Dinasti Buwaihi ini tercatat penguasa yang memerintah sebanyak 11 orang yaitu:
1.      Ahmad Ibn Buwaihi (Mu’îz al-Daulah) tahun 334-356 H
2.      Bakhtiar (’Îzz al-Daulah) tahun 356-367 H
3.      Abu Suja’ ’Khusru (‘Adhd al-Daulah) tahun 367-372 H
4.      Abu Kalyajar al-Marzuban (’Sham-sham al-Daulah) tahun 372-376 H
5.      Abu al-Fawaris (’Syaraf al-Daulah) tahun 376-379 H
6.      Abu Nash Fairuz (’Baha’ al-Daulah) tahun 379-403 H
7.      Abu Suja’ (Sultan al-Daulah) tahun 403-411 H
8.      Musyrif al-Daulah tahun 411-416 H
9.      Abu Thahîr (’Jalal al-Daulah) tahun 416-435 H
10.  Abu Kalyajar al-Marzuban (Imad al-Daulah) tahun 435-440 H
11.  Abu Nashr (’Kushr al-Malik al-Rahîm ) tahun 440-447 H
2.      Kondisi  Dinasti Buwaihi
a.       Politik Pemerintahan
Pemerintahan Bani Buwaihi bukanlah kekhalifahan yang berdiri sendiri seperti halnya Bani Abbasiyah atau Bani Umayyah. Mereka berkuasa sebagai Amîr al-Umarâ’  di bawah kekhalifahan Bani Abbasiyah. Tercatat selama Bani Buwaihi menjadi Amîr al-Umarâ’  mereka berada di bawah pimpinan lima khalifah Abbasiyah yaitu: al-Mustakfiy (944-946 ), al-Muti’ (946-974 ), Al-Tâ’i (974-991 ), Al-Qadîr (991-1031 ) dan al-Qhâ’im (1031-1075 ). Meskipun mereka hanyalah Amîr al-Umarâ’ Namun mereka memegang kekuasaan secara defacto pada dinasti Abbasiyah.Bahkan pada masa Adhdu al-Daulah, ia mulai meninggalkan istilah amir al-Umara’ dan menggantinya menjadi Malik (raja).
Selama Bani Buwaihi memasuki kota Baghdad dan mendapat posisi penting di pemerintahan Abbasiyah, mereka menjadikan posisi khalifah tak obahnya seperti boneka. Segala kebijakan berada di tangan Amîr.
Seperti disebutkan terdahulu bahwa dinasti Buwaihi mulai berkuasa sejak Mu’îz al-Daulah diserahi memegang kekuasaan atas nama khalifah oleh al-Mustakfiy pada tahun 334 H. Langkah pertama yang beliau lakukan adalah berusaha menggantikan kekhalifahan Bani Abbasiyah yang berpaham Sunniy menjadi paham Syi’ah. Namun hal ini tidak berhasil dikarenakan mendapat reaksi besar dari masyarakat.
Usaha lain yang beliau lakukan untuk menguatkan kekuasaan adalah dengan mengganti khalifah Bani Abbasiyah Al-Mustakfiy, dan mengangkat khalifah Al-Mutî’. Dengan diangkatnya al-Mutî’ sebagai khalifah, Muîz a-Daulah dapat berkuasa dengan leluasa menjalankan kekuasaannya. Karena ia yang mengangkat khalifah, maka ia dapat memperlakukan khalifah sesuka hatinya.
Selama Mu’îz al-Daulah berkuasa, dinasti Buwaihi belum memperoleh kemajuan yang berarti.Ia banyak disibukkan menghadapi pemberontakan dari kaum Sunniy yang berbeda paham dengan Dinasti Buwaihi yang berpaham Syi’ah.
Pengganti Mu’îz al-Daulah adalah puteranya ‘Îzz al-Daulah.‘Îzz al-Daulah berusaha menstabilkan kondisi politik waktu itu, namun ia malah mendapatkan kendala yang lebih besar. Tidak hanya menghadapi kaum Sunniy, melainkan ia harus menghadapi tantangan dari sepupunya sendiri yaitu  Abu Suja’ Khursu yang bergelar Adhdu al-Daulah yang berambisi merebut kekuasaan dari tangannya. Perang saudara terjadi yang mengakibatkan ‘Îzz al-Daulah terbunuh pada tahun 367 H.
Setelah ‘Îzz al-Daulah terbunuh, Adhdu al-Daulah naik menggantikannya.Ia memegang kekuasaan dari tahun 367-372 H. pada masa inilah banyak kemajuan yang tampak pada masa dinasti Buwaihi memimpin.
Di antara keberhasilan yang beliau capai di bidang politik pemerintahan –yang tidak pernah berhasil dilakukan pemimpin Buwaihi yang lain- adalah:
1. Mengganti istilah penguasa Buwaihi dari amir al-umara’ menjadi Malik. Hal ini berhasil beliau lakukan setelah ia menjalin hubungan dekat dengan khalifah al-Thâ’i.
2. Mempersatukan seluruh penguasa Buwaihi yang berada di wilayah-wilayah yang luas.       

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sebagaimana diketahui bahwa antara kebudayaan dan peradaban memiliki arti yang hampir sama. Namun dari kesamaan arti tersebut terdapat perbedaan dalam hal perwujudannya.Kebudayaan lebih diwujudkan dalam hal seni, sastra, religi dan moral.Sedangkan peradaban lebih diwujudkan dalam hal politik, ekonomi dan teknologi.Demikian juga dengan kemajuan peradaban Islam di Persia.
Keberhasilan raja Abbas I dalam merebut kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya menjadi tolak ukur kemajuan peradaban Islam di Persia khususnya dalam bidang politik. Selain kemajuan di bidang politik, raja Abbas I juga telah membawa peradaban Islam menuju masa keemasan di bidang yang lainnya seperti ekonomi, ilmu pengetahuan dan pembangunan.
Di bidang ekonomi, raja Abbas I berhasil mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pusat perdagangan yang berada pada jalur penghubung antara Timur dan Barat.Sebelum dikuasai sepenuhnya oleh kerajaan Safawi, pelabuhan ini pernah diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis.Di samping itu, raja Abbas I juga berhasil menjadikan daerah Bulan Sabit Subur (Fortile Crescent) sebagai daerah yang maju di sektor pertanian. 
Sedangkan di dunia IPTEK, Persia masa itu berhasil melahirkan ilmuwan-ilmuwan handal seperti Baha al-Din al-Syaerazi, Sadar al-Din al-Syaerazi (filosof) dan Muhammad Baqir Ibn Muhammad Damad yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah. Mereka inilah yang selalu hadir di majlis istana untuk mengisi setiap kajian yang diadakan di sana. Pada masa ini, Persia bisa dikatakan lebih maju jika dibandingkan dengan daerah dari kerajaan lain pada masa yang sama.
Pada masa kejayaan inilah, kota Isfahan yang menjadi pusat perkembangan peradaban Islam dihiasi dengan bangunan-bangunan berarsitektur tinggi. Hal ini bisa dilihat pada arsitektur masjid Syah yang dibangun pada tahun 1611 M. Pada pintu masjid ini terdapat lapisan perak yang membuat masjid ini terlihat begitu megah. Selain itu, di komplek salah satu masjid terindah di dunia ini terdapat lapangan serta taman yang masih terawat hingga sekarang. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum. 
Adanya islam di Persia ditandai dengan adanya 4 dinasti yaitu dinasti Qajar, Buwaihi, Safawiyah dan Samaniyah.
B.     Saran
Demikian makalah ini kami perbuat besar harapan agar sudi kiranya dosen pengasuh dan rekan-rekan mahasiswa sekalian untuk memberi saran yang membangun demi kemajuan makalah ini nantinya.




   
DAFTAR PUSTAKA

Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Jilid III, Cet. Keempat, 1981.

Santanawi, Ahmad dkk, (Ed.) Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah, Jilid II, (tanpa tahun).

Sharqawi, Effat, Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1986.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. Keenam belas, 2004.

Zaidan, Jurzi, History of Islamic Civilization, New Delhi: Kitab Bhavan, 1978.

Ajid Thohir. 2009. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacah Akar-akar Sejarah Sosial Politik dan Budaya Umat Islam. Ed 1-2.Jakarta: Rajawali  Pers.

Badri Yatim. 2006. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Gafindo Persada.

Hamka, 1981. Sejarah Umat Islam. Jilid III. Jakarta: Bulan Bintang. Cetakankeempat.

Ira. M. Lapidus. 2000. Sejarah Sosial Ummat Islam bagian 1 dan 2. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Musyrifah Sunanto. 2007. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Kencana.
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jakarta: Perpuatakaan Nasional RI, cet II, 2003.

Bosworth, C.E. Dinasti-dinasti Islam. Bandung : Mizan, 1980.

Ira M. Lapidus.Sejarah Sosial Ummat Islam III. Jakarta: Grafindo, 2000.

Hamka, Sejarah Umat Islam Pustaka Nasional PTE LTD Singapura, Cet. V, 2005.
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam .Jakarta: Perpuatakaan Nasional RI, cet II, 2003.
 Su'ud, Abu. Islamologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003.
Misbah, Ma'ruf. dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III, Semarang: CV. Wicaksana,2002.
Philip K. Hitti, Dinasti-Dinasti di Timur, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.






[1]Jurji Zaidan, History of Islamic Civilization, New Delhi: Kitab Bhavan, 1978, hlm. 240.
[2]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. XVI, 2004, hlm. 138.
[3]Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Jilid III, Cet. Keempat, hlm. 60.
[4]Ahmad al-Santanawi, Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah, Jilid II, hlm. 258-259.
[5]Ibid., hlm. 259.
[6]Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 5.
[7]Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Perpuatakaan Nasional RI, cet II, 2003), hlm. 169 – 170.
[8]Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981, Cetakan keempat), Hlm.60.
[9]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Gafindo Persada, 2006), Hlm.138-142
[10]mushallahalaim2.blogspot.com/dinasti-thahiriyahsammaniyah-da.html. 
[11]Ahmad Al-Usairy, at-Tarikhul Islami. hal. 266. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemikiran Hasan Al-Banna dan Sayyid Qutb dalam pendidikan Islam

BAB I PENDAHULUAN       A.   Latar Belakang Masalah Sejarah telah mencatat para generasi dakwah Islam di era modern akan banyak p...