BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kedatangan Islam di daratan Arab membawa pengaruh positif
terhadap perkembangan peradaban bangsa Arab yang sebelumnya dikenal sebagai
bangsa yang terbelakang, bodoh, tidak dikenal dan selalu diabaikan oleh
bangsa-bangsa lainnya, menjelma menjadi bangsa yang maju sehingga mampu membina
satu kebudayaan dan peradaban yang mempunyai arti penting dalam sejarah manusia
hingga saat ini. Hal ini tampaknya sangat dimengerti mengingat ajaran Islam
telah diwahyukan pada orang yang tepat, yakni Muhammad bin Abdullah yang
merupakan salah seorang cucu dari pemuka Quraisy bernama Abdul Muthalib.
Meskipun demikian, bukan berarti perjuangan Muhammad
berjalan mulus tanpa halangan dan rintangan.Sejarah mencatat, sebelum Islam
berkembang menjadi sebuah peradaban yang maju seperti saat sekarang ini, banyak
rintangan yang telah berhasil dilalui dengan baik oleh Muhammad pada awal
perkembangan Islam. Baik rintangan itu datang dari kerabat atau family maupun
dari suku atau kabilah lain yang merasa terusik dengan kedatangan ajaran Islam
yang dibawa oleh Muhammad.
Dalam perkembangannya, Islam mendapat sambutan hangat dari
seluruh masyarakat dataran Arab dan mayarakat di negara-negara sekitarnya mulai
Persia hingga Andalusia (Spanyol).Hal ini ditandai dengan berdirinya beberapa
kerajaan Islam berskala besar seperti dinasti Umayyah II di Andalusia dan
kerajaan Safawi di Persia.Kerajaan terakhir ini cukup menarik disimak mengingat
pada awal perkembangan Islam, negara Persia termasuk ke dalam negara yang menolak
kehadiran Islam bersama dengan negara Romawi.
Masuknya peradaban Islam di Persia dimulai sejak pecahnya
kekhalifahan Abbasyiah di Baghdad. Seorang sejarawan dari India bernama Jurji
Zaidan mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul History of Islamic
Civilization, bahwa sejak kekhalifahan Abbasyiah di Baghdad
melemah, banyak berdiri kerajaan-kerajaan kecil berbangsa Persia seperti:
Ø Thahiriyyah di Khurasan
(205-259 H/820-872 M)
Ø Shafariyah di Fars
(254-290 H/868-901 M)
Ø Samaniyah di Transoxania
(261-389 H/873-998 M)
Ø Sajiyyah di Azerbaijan
(266-318 H/878-930 M)
Ø Buwaihiyyah di sebagian besar kota
Baghdad (320-447 H/932-1055 M). [1]
B. Rumusan Masalah
1. Sejak kapan perkembangan peradaban
Islam di Persia dimulai?
2. Bagaimana proses perkembangan
peradaban Islam di Persia?
3. Dinasti Apa
Sajakah Yang Berdiri Di Persia?
C. Tujuan Masalah
1.
Menjelaskan kapan perkembangan peradaban Islam di Persia dimulai
2.
Untuk Mengetahui proses perkembangan peradaban Islam
di Persia
3.
Untuk Mengetahui Dinasti Apa Sajakah Yang Berdiri Di
Persia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Awal Peradaban Islam di Persia
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa perkembangan peradaban
Islam baru bekembang di Persia sejak dinasti Abbasyiah di Baghdad mengalami kemunduran.Namun
demikian, perkembangan peradaban Islam kala itu masih sebatas permulaan.
Sejatinya, perkembangan peradaban Islam di Persia dimulai sejak berdirinya
kerajaan Safawi yang dipelopori oleh Safi al-Din yang hidup sejak tahun 1252
hingga 1334 M.[2] Kerajaan
ini berdiri di saat kerajaan Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan
ini pertama kali dipimpin oleh Ismail.Ia berkuasa kurang lebih selama 23 tahun,
yakni antara tahun 1501 sampai 1524 M.
Kerajaan Safawi itu sendiri berasal dari sebuah gerakan
tarekat bernama Safawiyah yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan.
Tarekat Safawiyah ini didirikan bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani di
Turki. Hingga di masa perkembangannya, nama Safawi ini terus dipertahankan
sampai tarekat ini menjadi gerakan politik.
Sebagai pendiri kerajaan, Safi al-Din dikenal sebagai
pribadi yang agamis.Ia merupakan keturunan Musa al-Kazhim yang terkenal sebagai
imam Syi’ah yang keenam. Setelah ia berguru dengan Syaikh Taj al-Din Ibrahim
Zahidi dan menjadi menantunya, ia mendirikan tarekat Safawiyah pada tahun 1301
M. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah ini bertujuan untuk memerangi
orang-orang ingkar dan golongan Ahl al-Bid’aH Namun pada perkembangannya,
gerakan tasawuf yang bersifat lokal ini berubah menjadi gerakan keagamaan yang
mempunyai pengaruh besar di Persia, Syria dan Anatolia. Di negeri-negeri yang
berada di luar Ardabil inilah, Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang
diberi gelar Khalifah untuk memimpin murid-murid di daerahnya masing-masing.[3]
B. Proses Perkembangan Peradaban Islam di Persia
Peradaban Islam di Persia berkembang cukup cepat.Hal ini
ditandai dengan mulai meluasnya daerah kekuasaan pada masa kepemerintahan Abbas
I yang menjadi raja kelima dari dinasti Safawi.Meskipun pada masa
pemerintahannya sering terjadi perebutan daerah kekuasaan dengan kerajaan Turki
Usmani yang notabenenya sebagai sesama kerajaan Islam, namun pada masa
pemerintahannya inilah, perkembangan peradaban Islam mulai berkembang pesat.
Ahmad al-Santanawi mengungkapkan bahwa perkembangan
peradaban Islam di Persia diawali dengan penunjukkan kota Isfahan sebagai Ibu
kota kerajaan Safawi pada saat Abbas I menjadi penguasa kerajaan Safawi. Kota
ini merupakan gabungan dari dua kota sebelumnya, yakni Jayy dan Yahudiyyah yang
didirikan oleh Buchtanashshar atau Yazdajir I atas anjuran istrinya yang
beragama Yahudi.[4]
Terjadi perbedaan pendapat tentang kapan kota ini masuk
dalam wilayah Islam. Pemdapat pertama mengatakan bahwa penaklukkan kota ini
terjadi pada tahun 19 H atas perintah khalifah Umar Ibn Khattab. Sedangkan
pendapat kedua yang beraliran Bashrah menyebutkan bahwa kota ini ditaklukkan
pada tahun 23 H di bawah pimpinan Abu Musa al-Asy’ari. Namun terlepas dari
kedua perbedaan di atas, al-Santanawi menyatakan bahwa Isfahan menjadi kota
penting sebagai pusat industri dan perdagangan setelah penaklukkan kedua
terjadi pada masa dinasti Abbasiyyah.[5]
Dengan demikian, peradaban Islam di Persia mulai berkembang
pesat setelah kota Isfahan berhasil ditaklukkan oleh bala tentara Dinasti
Abbasiyyah untuk yang kedua kalinya. Berangkat dari fakta ini, dapat
disimpulkan bahwa proses perkembangan peradaban Islam di Persia dilakukan dalam
rangka perluasan daerah kekuasaan.
C. Kemajuan Peradaban Islam di Persia
Sebagaimana diketahui bahwa antara kebudayaan dan peradaban
memiliki arti yang hampir sama. Namun dari kesamaan arti tersebut terdapat
perbedaan dalam hal perwujudannya. Kebudayaan lebih diwujudkan dalam
hal seni, sastra, religi dan moral.Sedangkan peradaban lebih diwujudkan dalam
hal politik, ekonomi dan teknologi.[6]Demikian
juga dengan kemajuan peradaban Islam di Persia.
Keberhasilan raja Abbas I dalam merebut kembali
daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kerajaan lain pada masa raja-raja
sebelumnya menjadi tolak ukur kemajuan peradaban Islam di Persia khususnya
dalam bidang politik. Selain kemajuan di bidang politik, raja Abbas I juga
telah membawa peradaban Islam menuju masa keemasan di bidang yang lainnya
seperti ekonomi, ilmu pengetahuan dan pembangunan.
Di bidang ekonomi, raja Abbas I berhasil mengubah pelabuhan
Gumrun menjadi pusat perdagangan yang berada pada jalur penghubung antara Timur
dan Barat.Sebelum dikuasai sepenuhnya oleh kerajaan Safawi, pelabuhan ini
pernah diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis.Di samping itu, raja
Abbas I juga berhasil menjadikan daerah Bulan Sabit Subur (Fortile Crescent)
sebagai daerah yang maju di sektor pertanian.
Sedangkan di dunia IPTEK, Persia masa itu berhasil
melahirkan ilmuwan-ilmuwan handal seperti Baha al-Din al-Syaerazi, Sadar al-Din
al-Syaerazi (filosof) dan Muhammad Baqir Ibn Muhammad Damad yang pernah
mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah. Mereka inilah yang selalu
hadir di majlis istana untuk mengisi setiap kajian yang diadakan di sana. Pada
masa ini, Persia bisa dikatakan lebih maju jika dibandingkan dengan daerah dari
kerajaan lain pada masa yang sama.
Pada masa kejayaan inilah, kota Isfahan yang menjadi pusat
perkembangan peradaban Islam dihiasi dengan bangunan-bangunan berarsitektur
tinggi. Hal ini bisa dilihat pada arsitektur masjid Syah yang dibangun pada
tahun 1611 M. Pada pintu masjid ini terdapat lapisan perak
yang membuat masjid ini terlihat begitu megah. Selain itu, di komplek salah satu masjid terindah di dunia ini terdapat lapangan serta taman yang masih terawat hingga sekarang. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum.
yang membuat masjid ini terlihat begitu megah. Selain itu, di komplek salah satu masjid terindah di dunia ini terdapat lapangan serta taman yang masih terawat hingga sekarang. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum.
D. Dinasti – Dinasti yang Berdiri di
Persia
1 1. Dinasti Qajar
a.
Sejarah Berdirinya Dinasti Qajar
Dinasti Qajar (juga dikenal sebagai Ghajar atau Kadjar)
atau dalam bahasa Persia: (سلسله قاجاریه - atau دودمان قاجار ) adalah
sebutan umum untuk menggambarkan Iran (kemudian dikenal
sebagai Persia) dibawah keluarga Dinasti Qajar
yang berkuasa yang memerintah Iran sejak 1794 hingga 1925. Pemimpin Dinasti
Qajar dan sekaligus pendiri kepemerintahan yaitu Agha muhammad Khan dan
ditetapkan sebagai syah (kaisar atau raja) 1779-1797
M.
Qajar adalah Dinasti yang berkuasa di Persia dan berpusat di
Iran selama kurang lebih 150 tahun (1779 – 1924).Nenek moyang Dinasti Qajar
adalah bangsa Turki. Selama abad ke-14, mereka bergerak memasuki kawasan
Persia, Irak dan kawasan lain di Timur Tengah. Nama Qajar sediri diambil dari
nama salah seorang tokoh mereka, yaitu Qajar Noyan, putra Sertaq Noyan, yang
bekerja pada Dinasti Ilkhaniyah sebagai tutor Gazan Khan. Karir Qajar Noyan
berakhir dengan dengan kematiannya di tangan Raja Baidu (w. 1295), karena
tuduhan bersekongkol dengan penguasa sebelumnya yaitu Gaykatu (1291 – 1295).[7]
Pada awal abad ke-16, suku Qajar tampil memainkan peran
dalam pejalanan sejarah Islam ketika ia besama enam suku Turki lainnya
bergabung dalam barisan tentara Qizilbash ikut mendirikan Dinasti Safawi.
Mengiringi kejatuhan Dinasti Safawi, Persia memasuki masa panjang pergolakan
politik dan sosial. Suku Bakhtiyari, Qasyqayi, Afsyari, Zand dan Qajar saling
betempur memperebutkan dominasi pusat kekuasaan. Pergolakan politik dan sosial
tersebut baru berakhir ketika Aga Muhammad Khan, dari suku Qajar berhasil
menduduki singgasana kerajaan. Kemudian ia menggalang aliansi militer dengan
suku Bakhtiyari dan Afsyari untuk menaklukkan wilayah tengah Persia. Dan dengan
bantuan penguasa propinsi Syiraz, Aga Muhammad Khan berhasil mengalahkan
Dinasti Zand, sehingga daerah selatan Persia jatuh ke tangannya. Pada tahun
1779 Aga Muhammad Khan menjadi penguasa de facto atas hampir
seluruh wilayah Persia.
2. Dinasti Safawiyah
a. Sejarah Terbentuknya
Kerajaan Safawiyah Di Persia
Awalnya Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan
tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azeraijan. Tarekat ini diberi
nama Tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan
berdirinya kerajaan Usmani. Nama Safawiyah, diambil dari nama pendirinya, Safi
Al-Din (1252-1334 M) dan nama Safawi itu terus dipertahankan sampai tarekat ini
menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan setelah
gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan, yakni kerajaan Safawi.
Safi Al-din Berasal dari keturunan orang yang berada dan
memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia keturunan dari Imam Syi’ah yg keenam,
Musa Al-Kazhim. Gurunya bernama Syaikh Taj Al-Din Ibrahim Zahidi (1216-1301)
yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani.Karena prestasi dan ketekunannya
dalam kehidupan tasawuf, Safi Al-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut.
Safi Al-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan
sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M. pengikut tarekat ini sangat teguh
memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan memerangi
orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “ahli-ahli
bidah”. Tarekat yang dipimpin Safi Al-Din ini semakin penting, teutama setelah
ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat local
menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria, dan
Anatolia. Di negeri-negeri diluar Ardabil Safi Al -Din menempatkan seorang
wakil yang memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar “khalifah”[8]
Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya
kerap kali menimbulkan keinginan dikalangan penganut ajaran itu untuk
berkuasa.Karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah
menjadi tentara yang teratut, fanatic dalam kepercayaan, dan menantang setiap
orang yang bermahzab selain Syi’ah.
Kecendrungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud
konkretnya pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). dinasti
Safawi memperluas geraknya dengan menambah kegiatan polotik pada kegiatan
keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara Juneid dengan
penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa
di wulayah itu.Dalam konflik tersebut, Juneid kalah dan diasingkan kesuatu
tempat. Di tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK-Koyunlu
(domba putih), juga satu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan,
yang ketika itu menguasai sebagian Persia.
Selama dalam pengasingan, Junaed tidak tinggal diam. Ia
malah dapat menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara polotik dengan
Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan
Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Juneid mencoba merebut Ardabil tetapi gagal.
Pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircassia tetapi pasukan yang dipimpinnya
terhadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut.
Ketika itu anak Juneid, Haidar, masih kecil dan dalam asuhan
Uzun Hasan.Karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa diserahkan
kepadanya secara resmi pada tahun 1470.Hubungan Haidar dengan Uzun Hasan.Dari
perkawinan ini lahirlah salah seorang putrid Uzun Hasan.Dari perkawinan ini
lahirlah Ismail yang dikemudian hari menjadi pendiri kerajaan Safawiyah di
Persia.
Kemenangan AK Koyunlu tahun 1476 M terhadap Kara Konyunlu,
membuat gerakan militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai
rival politik oleh AK Koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya.Padahal,
sebagaimana telah disebutkan, Safawi adalah sekutu AK Koyunlu.AK Koyunlu
berusaha melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan Dinasti Safawi.Karena itu,
ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, sehingga pasukan
Haidar kalah dan Haidar sendiri terbunuh dalam peperangan itu.
Ali, putra dan pengganti Haidar, didesak oleh bala
tentaranya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap AK
Koyunlu.Tetapi Ya’kub pemimpin AK Koyunlu dapat menangkap dan memenjarakan Ali
bersama saudaranya, Ibrahim dan Ismail, dan ibunya, di Fars selama empat
setengah tahun (1489-1493 M).mereka dibebaskan oleh Rustam, putra mahkota AK
Koyunlu, dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. Setelah
saudara sepupu Rustam dapat dikalahkan.Ali bersaudara kembali ke Ardabil.Akan
tetapi, tidak lama kemudian Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali
bersaudara, dan Ali terbunuh dalam serangan ini (1494 M).
Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada ditangan
Ismail, yang saat itu masih berusia tujuh tahun. Selama lima tahun Ismail
beserta pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan
hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syria, dan Anatolia. Pasukan
yang dipersiapkan itu dinamai Qizilbash (baret merah).
Dibawah pimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan
Qizilbash menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu di Sharur, dekat Nakhchivan.
Pasukan ini terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, ibu kota AK
Koyunlu dan berhasil merebut serta mendudukinya. Dikota ini Ismail
memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama dinasti Safawi.Ia disebut juga
Ismail I.[9]
3. Dinasti
Samaniah
1. Sejarah Pendiriannya
Pendiri dinasti ini adalah Ahmad bin Asad
bin Samankhudat. Nama Samaniyah dinisbahkan kepada leluhur pendirinya yaitu
Samankhudat, seorang pemimpin suku dan tuan tanah keturunan bangsawan terkenal
di Balkh, sebuah daerah di sebelah utara Afghanistan. Dalam sejarah Samaniyah
terdapat dua belas khalifah yang memerintah secara berurutan.[10]
Dalam sejarah Islam tercatat bahwa dinasti
ini bermula dari masuknya Samankhudat menjadi penganut Islam pada masa khalifah
Hisyam bin Abdul Malik (khalifah Bani Umayyah), sejak itu Samankhudat dan
keturunannya mengabdikan diri kepada penguasa Islam. Pada masa kekuasaan
al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M) dari Dinasti Bani Abbasiyyah, empat cucu
Samankhudat memegang jabatan penting sebagai gubernur dalam wilayah kekuasaan
Abbasiyah yaitu Nuh di Samarkand, Ahmad bin Asad di Farghana (Turkistan) dan
Transoksania, Yahyabin Asad di Shash serta Asyrusanah (daerah di utara
Samarkand), dan Ilyas di Heart, Afghanistan.[11]
Seorang cucu Samankhudat yang bernama Ahmad
bin Asad, dalam perkembangannya mulai merintis berdirinya Dinasti Samaniyah
didaerah kekuasaannya, Farghana. Ahmad mempunyai dua putra, Nasr dan Isma’il,
yang juga menjadi orang kepercayaan Abbasiyah. Nasr I bin Ahmad dipercaya
menjadi gubernur di Transoksania dan Isma’il I bin Ahmad di Bukhara.
Selanjutnya Nasr I bin Ahmad mendapat kepercayaan dari khalifah al-Mu’tamid
untuk memerintah seluruh wilayah Khurasan dan Transoksania, dan daerah ini
menjadi basis perkembangan Dinasti Samaniyyah. Oleh sebab itu Nasr I bin Ahmad
dianggap sebagai pendiri hakiki dinasti ini.
4.
Dinasti Buaihi
1.
a. Sejarah
Dinasti Buaihi
Bani Buwaihi mulai
dikenal dalam sejarah adalah pada awal abad ke-4 Hijriah. Bani Buwaihi yang
kemudian memegang kekuasaan di dalam Daulah Abbasiyah pada mulanya berasal dari
tiga orang bersaudara, yaitu Ali, Al Hasan dan Ahmad.
Ketiganya adalah putra dari seorang yang bernama Buwaihi.
Buwaihi ini berasal
dari keluarga miskin yang tinggal di suatu negeri bernama Dailam.Ia adalah
seorang rakyat biasa yang kehidupan sehari-harinya sebagai pencari ikan. Ketiga
orang anaknya pada mulanya juga mengikuti kehidupan dan pekerjaan sehari-hari
ayahnya.Walaupun mereka berasal dari keluarga miskin, namun keluarga ini
terkenal dengan keberaniannya.Watak keberanian ini memang sudah keturunan dari
kakek mereka yang bergelar Abu Suja’, yang berarti bapak pemberani.Di
dalam diri ketiga putranya ini tentu telah mengalir darah pemberani itu.Hal ini
terbukti setelah ketiga bersaudara ini jadi tentara.
Kakak tertua, yakni
Ali Ibn Buwaihi karena keberanian dan kecakapannya diangkat menjadi komandan
tentara.Ia membawa kedua adiknya pindah dari negeri mereka ke ibu kota Daulah
Abbasiyah Baghdad. Sebagai tentara yang punya keberanian tinggi ketiga
bersaudara ini mengabdikan diri kepada orang-orang penting dalam Daulah
Abbasiyah untuk melindungi mereka dari bahaya yang mengancam.Berkat langkah
maju yang ditempuh oleh Ali Ibnu Buwaihi akhirnya dapat masuk ke dalam pusat
kekuasaan khalifah. Berawal dari perjuangan inilah ia berhasil mengangkat nama
negeri Dailam ke kawasan Timur dan Barat. Pada gilirannya mereka menjadi
penguasa di ibu kota Baghdad, dimana kekuasaan mereka di kenal di dunia Islam
Timur dan Barat.
Selama kekuasaan
Dinasti Buwaihi ini tercatat penguasa yang memerintah sebanyak 11 orang yaitu:
1. Ahmad
Ibn Buwaihi (Mu’îz al-Daulah) tahun 334-356 H
2. Bakhtiar
(’Îzz al-Daulah) tahun 356-367 H
3. Abu
Suja’ ’Khusru (‘Adhd al-Daulah) tahun 367-372 H
4. Abu
Kalyajar al-Marzuban (’Sham-sham al-Daulah) tahun 372-376 H
5. Abu
al-Fawaris (’Syaraf al-Daulah) tahun 376-379 H
6. Abu
Nash Fairuz (’Baha’ al-Daulah) tahun 379-403 H
7. Abu
Suja’ (Sultan al-Daulah) tahun 403-411 H
8. Musyrif
al-Daulah tahun 411-416 H
9. Abu
Thahîr (’Jalal al-Daulah) tahun 416-435 H
10. Abu
Kalyajar al-Marzuban (Imad al-Daulah) tahun 435-440 H
11. Abu
Nashr (’Kushr al-Malik al-Rahîm ) tahun 440-447 H
2. Kondisi
Dinasti Buwaihi
a. Politik
Pemerintahan
Pemerintahan Bani
Buwaihi bukanlah kekhalifahan yang berdiri sendiri seperti halnya Bani
Abbasiyah atau Bani Umayyah. Mereka berkuasa sebagai Amîr
al-Umarâ’ di bawah kekhalifahan Bani Abbasiyah. Tercatat selama
Bani Buwaihi menjadi Amîr al-Umarâ’ mereka berada di
bawah pimpinan lima khalifah Abbasiyah yaitu: al-Mustakfiy (944-946 ), al-Muti’
(946-974 ), Al-Tâ’i (974-991 ), Al-Qadîr (991-1031 ) dan al-Qhâ’im (1031-1075
). Meskipun mereka hanyalah Amîr al-Umarâ’ Namun mereka
memegang kekuasaan secara defacto pada dinasti Abbasiyah.Bahkan pada masa Adhdu
al-Daulah, ia mulai meninggalkan istilah amir al-Umara’ dan
menggantinya menjadi Malik (raja).
Selama Bani Buwaihi
memasuki kota Baghdad dan mendapat posisi penting di pemerintahan Abbasiyah,
mereka menjadikan posisi khalifah tak obahnya seperti boneka. Segala kebijakan
berada di tangan Amîr.
Seperti disebutkan
terdahulu bahwa dinasti Buwaihi mulai berkuasa sejak Mu’îz al-Daulah diserahi
memegang kekuasaan atas nama khalifah oleh al-Mustakfiy pada tahun 334 H.
Langkah pertama yang beliau lakukan adalah berusaha menggantikan kekhalifahan
Bani Abbasiyah yang berpaham Sunniy menjadi paham Syi’ah. Namun hal ini tidak
berhasil dikarenakan mendapat reaksi besar dari masyarakat.
Usaha lain yang beliau
lakukan untuk menguatkan kekuasaan adalah dengan mengganti khalifah Bani Abbasiyah
Al-Mustakfiy, dan mengangkat khalifah Al-Mutî’. Dengan diangkatnya al-Mutî’
sebagai khalifah, Muîz a-Daulah dapat berkuasa dengan leluasa menjalankan
kekuasaannya. Karena ia yang mengangkat khalifah, maka ia dapat memperlakukan
khalifah sesuka hatinya.
Selama Mu’îz al-Daulah
berkuasa, dinasti Buwaihi belum memperoleh kemajuan yang berarti.Ia banyak
disibukkan menghadapi pemberontakan dari kaum Sunniy yang berbeda paham dengan
Dinasti Buwaihi yang berpaham Syi’ah.
Pengganti Mu’îz
al-Daulah adalah puteranya ‘Îzz al-Daulah.‘Îzz al-Daulah berusaha menstabilkan
kondisi politik waktu itu, namun ia malah mendapatkan kendala yang lebih besar.
Tidak hanya menghadapi kaum Sunniy, melainkan ia harus menghadapi tantangan
dari sepupunya sendiri yaitu Abu Suja’ Khursu yang bergelar Adhdu
al-Daulah yang berambisi merebut kekuasaan dari tangannya. Perang saudara
terjadi yang mengakibatkan ‘Îzz al-Daulah terbunuh pada tahun 367 H.
Setelah ‘Îzz al-Daulah
terbunuh, Adhdu al-Daulah naik menggantikannya.Ia memegang kekuasaan dari tahun
367-372 H. pada masa inilah banyak kemajuan yang tampak pada masa dinasti
Buwaihi memimpin.
Di antara keberhasilan
yang beliau capai di bidang politik pemerintahan –yang tidak pernah berhasil
dilakukan pemimpin Buwaihi yang lain- adalah:
1.
Mengganti
istilah penguasa Buwaihi dari amir al-umara’ menjadi Malik. Hal
ini berhasil beliau lakukan setelah ia menjalin hubungan dekat dengan khalifah
al-Thâ’i.
2.
Mempersatukan
seluruh penguasa Buwaihi yang berada di wilayah-wilayah yang
luas.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana diketahui bahwa antara kebudayaan dan peradaban
memiliki arti yang hampir sama. Namun dari kesamaan arti tersebut terdapat
perbedaan dalam hal perwujudannya.Kebudayaan lebih diwujudkan dalam hal seni,
sastra, religi dan moral.Sedangkan peradaban lebih diwujudkan dalam hal
politik, ekonomi dan teknologi.Demikian juga dengan kemajuan peradaban Islam di
Persia.
Keberhasilan raja Abbas I dalam merebut kembali
daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kerajaan lain pada masa raja-raja
sebelumnya menjadi tolak ukur kemajuan peradaban Islam di Persia khususnya
dalam bidang politik. Selain kemajuan di bidang politik, raja Abbas I juga
telah membawa peradaban Islam menuju masa keemasan di bidang yang lainnya
seperti ekonomi, ilmu pengetahuan dan pembangunan.
Di bidang ekonomi, raja Abbas I berhasil mengubah pelabuhan
Gumrun menjadi pusat perdagangan yang berada pada jalur penghubung antara Timur
dan Barat.Sebelum dikuasai sepenuhnya oleh kerajaan Safawi, pelabuhan ini
pernah diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis.Di samping itu, raja
Abbas I juga berhasil menjadikan daerah Bulan Sabit Subur (Fortile Crescent)
sebagai daerah yang maju di sektor pertanian.
Sedangkan di dunia IPTEK, Persia masa itu berhasil
melahirkan ilmuwan-ilmuwan handal seperti Baha al-Din al-Syaerazi, Sadar al-Din
al-Syaerazi (filosof) dan Muhammad Baqir Ibn Muhammad Damad yang pernah
mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah. Mereka inilah yang selalu
hadir di majlis istana untuk mengisi setiap kajian yang diadakan di sana. Pada
masa ini, Persia bisa dikatakan lebih maju jika dibandingkan dengan daerah dari
kerajaan lain pada masa yang sama.
Pada masa kejayaan inilah, kota Isfahan yang menjadi pusat
perkembangan peradaban Islam dihiasi dengan bangunan-bangunan berarsitektur
tinggi. Hal ini bisa dilihat pada arsitektur masjid Syah yang dibangun pada
tahun 1611 M. Pada pintu masjid ini terdapat lapisan perak yang membuat masjid
ini terlihat begitu megah. Selain itu, di komplek salah satu masjid terindah di
dunia ini terdapat lapangan serta taman yang masih terawat hingga sekarang.
Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 akademi, 1802
penginapan dan 273 pemandian umum.
Adanya islam di Persia ditandai dengan adanya 4 dinasti
yaitu dinasti Qajar, Buwaihi, Safawiyah dan Samaniyah.
B. Saran
Demikian makalah ini kami perbuat besar harapan agar sudi
kiranya dosen pengasuh dan rekan-rekan mahasiswa sekalian untuk memberi saran
yang membangun demi kemajuan makalah ini nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, Jilid III, Cet. Keempat, 1981.
Santanawi, Ahmad
dkk, (Ed.) Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah, Jilid
II, (tanpa tahun).
Sharqawi,
Effat, Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1986.
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Cet. Keenam belas, 2004.
Zaidan,
Jurzi, History of Islamic Civilization, New Delhi: Kitab
Bhavan, 1978.
Ajid
Thohir. 2009. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam:
Melacah Akar-akar Sejarah Sosial Politik dan Budaya Umat Islam. Ed
1-2.Jakarta: Rajawali Pers.
Badri Yatim.
2006. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Gafindo Persada.
Hamka, 1981. Sejarah
Umat Islam. Jilid III. Jakarta: Bulan Bintang. Cetakankeempat.
Ira. M.
Lapidus. 2000. Sejarah Sosial Ummat Islam bagian 1 dan 2.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Musyrifah
Sunanto. 2007. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Islam. Jakarta: Kencana.
Taufik Abdullah, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam Jakarta: Perpuatakaan Nasional RI, cet II, 2003.
Bosworth, C.E. Dinasti-dinasti
Islam. Bandung : Mizan, 1980.
Ira M. Lapidus.Sejarah Sosial
Ummat Islam III. Jakarta: Grafindo, 2000.
Hamka, Sejarah Umat
Islam Pustaka Nasional PTE LTD Singapura, Cet. V, 2005.
Taufik Abdullah, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam .Jakarta: Perpuatakaan Nasional RI, cet II, 2003.
Su'ud,
Abu. Islamologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003.
Misbah, Ma'ruf.
dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III, Semarang:
CV. Wicaksana,2002.
Philip K. Hitti, Dinasti-Dinasti
di Timur, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.
[1]Jurji Zaidan, History of Islamic
Civilization, New Delhi: Kitab Bhavan, 1978, hlm. 240.
[2]Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. XVI,
2004, hlm. 138.
[3]Hamka, Sejarah Umat Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, Jilid III, Cet. Keempat, hlm. 60.
[4]Ahmad al-Santanawi, Dairat
al-Ma’arif al-Islamiyyah, Jilid II, hlm. 258-259.
[6]Effat al-Sharqawi, Filsafat
Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 5.
[7]Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta:
Perpuatakaan Nasional RI, cet II, 2003), hlm. 169 – 170.
[8]Hamka, Sejarah
Umat Islam, Jilid III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981, Cetakan
keempat), Hlm.60.
[11]Ahmad
Al-Usairy, at-Tarikhul Islami. hal. 266.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar