Sejarah perkembangan pendidikan islam
Sejarah perkembangan pendidikan
sebenarnya mengikuti sejarah Islam itu sendiri. Oleh sebab itu, periodesasi
sejarah pendidikan Islam dapat dikatakan berada dalam periodesasi sejarah Islam
itu sendiri. Harun Nasution membagi periodesasi ini ke dalam periode klasik,
pertengahan dan modern[1]. Secara garis besar dari ketiga
periodesasi tersebut dapat diperinci kembali menjadi lima masa yaitu; .masa
hidupnya Nabi Muhammad SAW, masa khulafaurrasyidin, masa dinasti Ummawi, masa
dinasti Abbasiyah dan masa dari runtuhnya Baghdad sampai sekarang.
Kelima periodesasi tersebut lebih
kental pada periodesasi penulisan sejarah Islam. Peneliti Sejarah Pendidikan
islam yang lain membagi secara lebih kompleks periodesasi dalam penulisan
Sejarah Pendidikan Islam yaitu ; pertama, Periode pembinaan pendidikan Islam
yang berlangsung pada masa Nabi Muhammad SAW selama lebih kurang 23 tahun sejak
beliau menerima wahyu hingga wafatnya. Dalam periode ini Rasulullah adalah guru
dan para sahabat adalah murid-muridnya. Kedua, periode pertumbuhan pendidikan
Islam yang berlangsung sejak wafatnya Rasulullah sampai dengan akhir kekuasaan
dinasti Umawi. Pada masa ini yang memegang peran sentral adalah para sahabat
Nabi dan generasi tabi’in. Ketiga, periode kejayaan pendidikan islam
berlangsung dari awal munculnya kekuasaan Abbasiyah higga runtuhnya kota
Baghdad akibat serangan tentara Mongol. Pada periode ini yang memegang peranan
penting bukan hanya ulama, tapi juga ilmuwan-ilmuwan dari berbagai disiplin
ilmu dan banyak pula mereka yang tidak memeluk agama Islam. Periode keempat
adalah tahap kemunduran yang berlangsung sejak jatuhnya Baghdad hingga
penaklukan Napoleon atas Mesir pada abad ke 18. Hal ini ditandai dengan
berpindahnya pusat kebudayaan dunia dari timur ke dunia barat. Kelima, tahap
pembaruan pendidikan islam yaitu ditandai dengan masuknya Napoleon ke Mesir
sampai saat ini. Pemegang peranan penting dalam tahap ini adalah para pembaharu
Islam yang tampil ke dalam lintasan sejarah. Periode ini ditandai dengan
penyerapan unsur-unsur pendidikan barat ke dalam pendidikan Islam[2].
1. Pembinaan
Pendidikan Islam di masa Rasulullah dan Model Pendidikannya
a.
Pendidikan Islam Periode Makkah
Pembinaan pendidikan di masa
Rasulullah dapat dibagi menjadi dua, yaitu saat Rasulullah berada di Makkah dan
setelah Rasulullah berhijrah ke Madinah. Sebelum diutus menjadi Rasul, Nabi
Muhammad SAW telah dididik oleh Allah melalui pengalaman, pengenalan dan peran
sertanya dalam kehidupan masyarakat. Allah menjaganya dari
kebiasaan-kebiasaan kaum kafir Quraisy yang buruk seperti mabuk-mabukan,
berzina ataupun menyembah berhala. Rasulullah pun diberikan tanggung jawab
sebagai penggembala kambing, dimana para Nabi semuanya adalah penggembala[3].
Setelah memasuki usia ke 40 tahun, Allah mengutusnya untuk menyebarkan ajaran
Islam kepada umat. Tahap pertama dalam penyampaian dakwah ini disebarkan dalam
kalangan terbatas seperti pada keluarga terdekat dan teman dekatnya. Orang
pertama yang masuk ke dalam agama ini adalah Khadijah, istrinya, Ali bin Abi
Thalib seorang sepupunya, Zaid bin Haritsah anak angkatnya dan Abu Bakar
seorang teman dekatnya. Melalui Abu Bakar banyak pula orang-orang yang masuk
Islam seperti Zubair bin Awwam, Usman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad
bin Abi Waqash dan Abdurrahman bin ‘Auf[4]. Setelah dakwah secara tertutup barulah
masuk ke dalam fase berdakwah secara terbuka.
Rumah Arqom bin Abil Arqom adalah madrasah Nabi yang pertama dalam mendidik dan
mengajarkan Al-Qur’an. Banyak kaum Quraisy yang masuk Islam dengan menghadap
Nabi di rumah Arqom ini. Diantaranya adalah Mushab bin Umair dan Umar bin
Khatab. Kisah Umar bin Khatab pertama kali masuk Islam sangat menarik jika kita
cermati.
Suatu hari Umar keluar rumah menenteng pedang terhunus hendak melibas leher
Nabi Muhammad. Beberapa sahabat sedang berkumpul dalam sebuah rumah di bukit
Safa. Jumlah mereka sekitar empat puluhan termasuk kaum wanita. Di antaranya
adalah paman Nabi Muhammad, Hamzah, Abu Bakar, Ali dan juga sahabat yang lain
yang tidak ikut hijrah ke Etiopia. Nua’im secara tidak sengaja berpapasan dan
bertanya hendak kemana Umar pergi. “ Saya hendak menghabisi Muhammad, manusia
yang telah membuat orang Quraisy khianat terhadap agama nenek moyang dan mereka
tercabik-cabik serta ia (Muhammad) mencaci maki tata cara kehidupan, agama, dan
tuhan-tuhan kami. Sekarang akan aku libas dia. “Engkau hanya akan menipu diri
sendiri, Umar” Kata Nua’im “ Jika engkau menganggap bahwa Bani Abdul Manaf
mengizinkanmu menapak di bumi ini hendak memutus nyawa Muhammad, lebih baik
pulang temui keluarga anda dan selesaikan permasalahan mereka” Umar pulang
sambil bertanya-tanya apa yang menbimpa keluarganya. Nu’aim menjawab “ Saudara
ipar, keponakan yang bernama Said serta adik perempuanmu telah mengikuti agama
baru yang dibawa Nabi Muhammad. Oleh karena itu, akan lebih baik jika anda
menghubungi mereka”. Umar cepat-cepat memburu iparnya di rumah, tempat Khabab
sedang membaca surat Taha dari sepotong tulisan Al-Qur’an. Saat mereka dengar
suara Umar, Khabab lari masuk ke kamar kecil, sedang Fatimah mengambil kertas
kulit yang bertuliskan Al-Qur’an dan diletakkan di bawah pahanya”[5]
Dari keterangan kisah di atas dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an telah
ditulis pada periode awal Islam. Ketika ayat Al-Qur’an turun Rasulullah
memanggil para sahabatnya untuk menghapalkan ayat Al-Qur’an yang turun tersebut
dan beberapa orang menuliskannya. Penekanan pendidikan pada masa hidup Nabi
Muhammad baik di Mekkah maupun di Madinah adalah pembacaan dan penghafalan
Al-Qur’an. Perlu digaris bawahi di sini Al-Qur’an bukan berasal dari teks
tertulis yang kemudian dihafalkan, namun berasal dari hafalan yang kemudian
dituliskan[6].
Dalam periode Mekkah ini terdapat beberapa sahabat yang menjadi guru dalam
mengajarkan Al-qur’an. Mereka adalah :
1. Ibnu
Mas’ud adalah orang pertama yang mengajarkan Al-qur’an di Mekkah
2. Khabbab
mengajarkan Al-qur’an pada Fatimah (saudara perempuan Umar bin Khatab) dan
suaminya Sa’id bin Zaid
3. Mushab
bin Umair dikirim oleh Nabi Muhammad SAW ke Madinah sebagai guru mengaji
Al-qur’an[7].
Hasil pendidikan Al-qur’an dalam
periode Mekkah ini cukup memuaskan walaupun harus berhadapan dengan siksaan
dari kaum musyrikin kota Mekkah. Para sahabat dengan semangat mengajarkan
Al-qur’an di kabilah-kabilahnya dan orang – orang yang ditemui olehg meraka.
Adapun hasil pendidikan Al-qur’an di Mekkah ini antara lain bisa dilihat dari :
1. Saat
Nabi Muhammad tiba di Madinah, beliau diperkenalkan oleh seorang anak muda
bernama Zaid bin Tsabit, anak lelaki berusia sebelas tahun yang telah menghafal
enam belas surah Al-qur’an
2. Barra
menjelaskan bahwa ia sudah mengenal seluruh surah Al-Muffasal (terdiri dari
surat Al-Qaf hingga akhir Al-qur’an) sebelum Nabi Muhammad tiba di Madinah[8]
Dalam periode Mekkah ini titik tekan
materi pembelajaran adalah masalah tauhid yang mendalam untuk mengikis habis
kesyirikan-kesyirikan yang mungkin masih melekat di hati para sahabat dan
membuat pertentangan tegas dengan kepercayaan masyarakat Quraisy. Intisari
ajaran tauhid tersebut adalah sebagaimana yang tercermin dalam surat
Al-Fatihah. Pokok-pokoknya adalah :
1. Bahwa
Allah adalah pencipta alam semesta yang sebenarnya. Dialah satu-satunya yang
menguasai dan mengatur alam ini sedemikian rupa, sehingga merupakan tempat yang
sesuai dengan kehidupan manusia. Dia pulalah yang telah mengatur kehidupan
manusia, mendidik dan membimbingnya, sehingga mendapatkan kehidupan sebagaimana
yang mereka alami. Oelh karenanya, hanya Dialah yang memiliki segalanya, yang
berhak mendapatkan pujian. Manusia harus memuji-Nya karena semua makhluk
pun memuji-Nya juga. Memuji Allah harus dilasanakan langsung kepada-Nya,
bukan seperti kebiasaan masyarakat yang memuji Tuhan dengan perantaraan
berhala-berhala mereka. Berhala-berhala tersebut sebenarnya tidak berarti apa-apa,
tidak memberikan mudarat ataupun manfaat dalam kehidupan mereka, sedangkan yang
memberi nikmat dan segala kebutuhan hidup pada hakikatnya adalah Allah. Itulah
sebabnya Dialah yang berhak mendapatkan pujian tersebut
2. Bahwa
Allah telah memberikan nikmat, memberikan segala keperluan bagi semua
makhluk-Nya dan khusus kepada manusia ditambah dengan petunjuk dan bimbingan
agar mendapatkan kebahagiaan hidup yang sebenar-benarnya. Allah telah
memberikan keperluan hidup, membimbing dan mendidik manusia dengan penuh kasih
sayang, Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Pengertian bahwa Allah bersifat Rahman dan
Rahim tersebut, memberikan dorongan untuk menjabarkan sifat kasih sayang dalam
kehidupan sehari-hari terhadap sesama manusia, yang berbeda dengan sikap
permusuhan antarsuku yang membudaya di kalangan bangsa Arab pada masanya.
Berbeda pula dengan perlakuan mereka yang sewenang-wenang terhadap kaum yang
lemah dan tak berdaya.
3. Bahwa
Allah adalah raja hari kemudian, telah memberikan pengertian bahwa segala amal
perbuatan manusia selama di dunia akan diperhitungkan di sana. Segala perbuatan
yang baik dan perbuatan jahat walau sebesar biji sawi akan dibalas oleh-Nya
secara setimpal. Pengertian tersebut bertentangan dengan kepercayaan oirang
Arab selama ini , bahwa hari pembalasan itu tidak ada atau tidak ada hidup
setelah mati.
4. Bahwa
Allah adalah sesembahan yang sebenarnya dan satu-satunya. Hanya kepada Allah
segala bentuk pengabdian ditujukan. Penyembahan kepada selain Allah, tidaklah
benar dan harus dihapuskan. Segala bentuk penyembahan dan pengabdian kepada
Allah harus sesuai dan menurut apa yang dikehendaki oleh Nya, bukan menurut
selera manusia sendiri. Pengertian tersebut mendorong untuk melaksanakan
pengabdian kepada Allah secara bertanggung jawab. Segala perbuatan dan
pengabdian manusia harus dikerjakan karena Allah semata, bukan karena
berhala-berhala.
5. Bahwa
Allah adalah penolong yang sebenarnya dan oleh karenanya hanya kepada Nyalah
manusia harus meminta pertolongan. Pengertian ini sekaligus membatalkan
permintaan pertolongan kepada selain Allah
6. Bahwa
Allah yang sebenarnya membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia dalam
mengarungi kehidupan dunia yang penuh dengan rintangan, tantangan dan godaan.
Allah yang memberikan petunjuk ke arah jalan yang lurus, jalan yang ditempuh
oleh orang-orang shaleh terdahulu, jalan hidup warisan Ibrahim yang sebenarnya.
Pengertian tersebut memberikan kesadaran bahwa jalan yang ditempuh selama ini
bukanlah jalan Allah. Demikian pula jalan hidup orang-orang Yahudi dan Nasrani
yang dikenal selama ini, buikanlah jalan hidup yang dibenarkan Allah[9]
Namun dakwah Rasulullah mendapatkan
tantangan yang luar biasa dari kaum kafir Quraisy. Rasulullah mencoba kembali
dakwahnya ke Tha’if namun gagal pula. Kemudian, setiap msuim haji Rasulullah
mengunjungi kemah-kemah jama’ah untuk menyampaikan ajaran tauhid tersebut.
Namun hanya satu jam’ah dari Yatsrib yang menerima ajakannya.
Dari sinilah usaha untuk
memperkenalkan Islam kepada seluruh masyarakat Yatsrib (Madinah) dimulai.
Rasulullah mengutus Mush’ab bin Umair untuk mendakwahkan Islam ke sana. Mush’ab
tidaklah mengecewakan Rasulullah. Pada awalnya penduduk Islam di Madinah hanya
12 orang saja. Namun haji pada musim selanjutnya, 70 orang Islam tiba di
Mekkah. Mush’ab dengan cerdik mendekati para pemuka-pemuka Kabilah yang ada di
Madinah seperti Usaid bin Hudhair, Sa’ad bin Muadz dan Sa’ad bin Ubadah. Dengan
masuknya Islam mereka, maka berbondong-bondonglah penduduk Yatsrib masuk ke
dalam Islam[10]. Dengan kesuksesan Mush’ab bin Umair ini
dimulailah periodesasi dakwah dan penyebaran pendidikan Islam di Madinah dengan
peristiwa Hijrah sebagai pintu gerbangnya.
Mahmud Yunus menerangkan beberapa
hal berkaitan dengan pendidikan Islam pada masa Mekkah ini bahwa pembinaan pada
periode ini meliputi :
1. Pendidikan
keagamaan yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata-mata, jangan
dipersekutukan dengan nama berhala, karena Tuhan itu Maha Besar dan Maha
Pemurah, sebab itu hendaklah dienyahkan berhala itu sejauh-jauhnya.
2. Pendidikan
akliyah dan ilmiyah yaitu mempelajari kejadian manusia dari segumpal darah dan
kejadian alam semesta. Allah akan mengajarkan demikian itu kepada orang-orang
yang mau menyelidiki dan membahasnya, sedangkan mereka dulu belum belum
mengetahuinya. Untuk mempelajari hal tersebut haruslah dengan banyak membaca
dan menyelidiki serta memakai pena untuk mencatat.
3. Pendidikan
akhlak dan budi pekerti, Nabi Muhammad SAW mengajarkan sahabatnya agar
berakhlak baik sesuai dengan ajaran tauhid.
4. Pendidikan
jasamani (kesehatan) yaitu mementingkan kebersihan pakaian, badan, dan tempat
kediaman[11].
b.
Pendidikan Islam Periode Madinah
Jika pada periode Makkah ciri
pendidikan Islam lebih dititik tekankan pada pendalaman tauhid, maka pada
periode Madinah ini lebih ditekankan pada aspek sosial dan politik dengan
cakupan yang lebih luas dengan tetap disandarkan pada penjiwaan terhadap tauhid
itu sendiri[12].
Hal pertama yang dilakukan oleh Nabi
ketika tiba di Madinah adalah mendirikan Masjid sebagai pusat ibadah dan pusat
Pendidikan Islam kaum muslimin. Dalam hal ini Rasulullah membuatkan sebuah
Suffah di dalam masjid yang berfungsi sebagai tempat belajar pemberantasan buta
huruf, dengan menyediakan makanan dan tempat tinggal[13].
Qatadah menyebutkan terdapat
sembilan ratus orang yang menjadi ahli suffah tersebut walaupun ulama lainnya
menyatakan hanya empat ratus orang. Saat Nabi mengajarkan Al-Qur’an maka
sahabatseperti Abdullah bin Said al-Ash, Ubadah bin Shamit dan Ubay bin Ka’ab
mengajarkan dasar-dasar penting membaca dan menulis[14]. Selain itu Rasulullah juga membacakan
Al-Qur’an kepada para tokoh terkemuka yang bukan ahlu-suffah seperti Abdullah
bin Salam 9seorang Yahudi yang masuk Islam), Ubay bin Ka’ab, Hisyam bin Hakim,
Umar bin Khatab dan Ibnu Mas’ud. Selain itu banyak pula utusan yang tiba ke
Madinah, masuk Islam dan diajarkan Al-Qur’an oleh Rasulullah dengan diberi
makanan dan tempat penginapan[15].
Perang badar yang dimenangkan oleh
kaum muslimin membuat banyak para tawanan perang. Untuk menebus diri mereka,
mereka diminta untuk membayar seribu hingga empat ribu dirham. Jika tawanan
perang tersebut adalah orang tak mampu banyak yang dibebaskan tanpa tebusan
oleh Rasulullah[16]. Banyak pula dari mereka yang dapat
membaca dan menulis, menebus diri mereka dengan mengajarkan sahabat-sahabat
Rasulullah membaca dan menulis[17]. Dengan cara ini Rasulullah secara
cerdas mencoba memberantas buta huruf di kalangan para sahabatnya.
Banyak pula murid-murid
Rasulullah menjadi guru untuk kaum muslimin yang lain ataupun diutus untuk
mengajarkan Al-Qur’an pada orang lain. Tokoh-tokoh sahabat itu antara lain :
Ubadah bin Shamit mengajarkan Al-Qur’an pada masa kehidupan Rasululah SAW, Ubay
bin Ka’ab mengajarkan Al-Qur’an pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAW di
Madinah. Ia juga mengajarkan seorang buta di rumahnya, Abu said Al-Khudri, Sahl
bin Said Al-Anshari, Uqbah bin Amir, Jabir bin Abdullah, Anas bin malik, Muadz
bin Jabal dikirim ke Yaman, Abu Ubaid dikirim ke Najran, wabra’ bin Yuhannas
mengajar Al-Qur’an di San’a (yaman)kepada Ummu Said binti Buzrug semmasa
kehidupan Nabi Muhammad SAW[18]
Hasil dari pendidikan ini adalah
munculnya para Huffaz di kalangan para sahabat. Banyak para sahabat yang
kemudian di bunuh pada peristiwa bir Ma’unah[19]. Nama-nama mereka yang masih hidup dan
mengajarkan Al-qur’an di Madinah dan daerah-daerah kekuasaan Islam lainnya
adalah ; Ibnu Mas’ud, Abu Ayyub, Abu Bakar As-shidiq, Abu Darda’, Abu Zaid, Abu
Musa Al-Ashari, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab, Ummu Salamah, Tamim Ad-Dari,
Sa’ad bin Mundhir, Hafsah, Zaid bin Tsabit, Salim Maula Abu Hudzaifah, Sa’ad
bin Ubadah, Sa’ad bin Ubaid Al-Qari, Sa’ad bin Mundhir, Shihab al-Qurashi,
Talhah, Aisyah, Ubadah bin Shamit, Abdullah bin Sa’ib, Ibnu Abbas, Abdullah bin
Umar, Abdullah bin Amr, Utsman bin Affan, Atta bin Markayud (orang persia yang
tinggal di Yaman), Uqbah bin Amir, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khatab, Amr bin
Al-Ash, Fudhail bin Ubaid, Qays bin abi Sa’sa’a, Mujamma bin Jariya, Maslama
bin Makhlad, Muadz bin Jabal, Muadz Abu Halima, Ummu Warqah, dan Abdul Wahid[20]
Selain menghafal Al-Qur’an, tradisi
akademik yang dikembangkan oleh Rasulullah adalah penulisan Al-Qur’an[21]. Kebiasaan Nabi yang memanggil para
sahabat yang bisa menulis setelah wahyu turun untuk menghapalkan ayat tersebut
dan menuliskannya, telah memunculkan banyak sahabat yang menjadi penulis
Al-Qur’an. Mereka adalah; Abban bin Said, Abu Umama, Abu Ayub Al-Anshari, Abu
Bakar As-Shidiq, Abu Hudzaifa, Abu Sufyan, Abu Salama, Abu ‘Abbas, Ubay bin
Ka’ab, Al-Arqam, Usaid bin Hudair, Aus, Buraida, Bashir, Tsabit bin Qais, Ja’far
bin Abi Thalib, Jahm bin Sa’ad, Suhaim, Hatib, Hudzaifa, husain, Hanzala,
Huwaitib, Khalid bin Sa’id, Khalid bin Walid, Zubair bin Awwam, Zubair bin
Arqam, Zaid bin Tsabit, Sa’ad bin Abi Rabi’, Sa’ad bin Ubadah, Sa’id bin Sa’id,
Shurahbil bin Hasna, Thalhah, Amir bin Fuhaira, ‘Abbas, Abdullah bin Arqom,
Abdullah bin Abi Bakar, Abdullah bin Rawahah, Abdullah bin Zaid, Abdullah bin
Sa’ad, Abdullah bin Abdullah, Abdullah bin Amr, Utsman bin Affan, Uqba, Al-‘ala
bin Uqbah, Ali bi abi Thalib, Umar bin Khatab, Amr bin al-ash, Muhammad bin
Maslama, Mu’adz bin jabal, Mu’awiyah, Ma’n bin adi, Mu’aqib bin Mughirah,
Mundhir, Muhajir dan Yazid bin abi Sufyan[22].
Zuhairini dkk menerangkan bahwa
pendidikan pada periode Mekkah ini adalah Pendidikan sosial politik dan
kewarganegaraan. Materi pokok pendidikan ini adalah pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam piagam Madinah, yang dalam prakteknya diperinci lebih lanjut
dan disempurnakan dengan ayat-ayat yang turun selama periode Madinah. Tujuan
pendidikan ini adalah agar pokok pikiran yang terkandung dalam konstitusi
Madinah ini diakui tidak hanya di Madinah saja tapi juga untuk seluruh jazirah
Arabia. Pelaksanaan praktek ini dijabarkan dalam bentuk a) Pendidikan Ukhuwah
(persaudaraan) dimana Rasulullah mempersuadarakan kaum Anshar dengan kaum
Muhajirin untuk mengokohkan umat Islam, b) Pendidikan Kesejahteraan Sosial, c)
pendidikan anak yang terdiri dari pendidikan tauhid, pendidikan Salat dan
pendidikan adab dan sopan santun dalam keluarga dan masyarakat,
pendidikan kepribadian, d) Pendidikan pertahanan dan keamanan[23].
2. Pertumbuhan
dan Perkembangan Pendidikan Islam Pasca Rasulullah
a. Periode
Khulafaurrasyidin
Sistem pendidikan Islam pada masa
Khulafaur Rasyidin dilakukan secara mandiri tidak dikelola oleh pemerintah
kecuali pada masa Khalifah Umar bin Khatab yang turut campur dalam materi
lembaga pendidikan Kutab. Sahabat-sahabat Rasulullah telah mendirikan
majelis-majelis ilmu mereka masing-masing.
Seiring dengan
perkembangan wilayah Islam, maka pusat pendidikan Islam tidak hanya ditemukan
di Madinah saja. Tapi telah menyebar ke daerah lainnya seperti Basrah dan Kufah
(Iraq), Palestina dan Damsyiq (Syam) dan kota Fustat (Mesir)[24]. Tenaga pengajar dan ahli pendidikan di
masing-masing daerah adalah tokoh-tokoh sahabat yang mendirikan Majelis dan
madrasah masing-masing. Mereka adalah:
1. Madrasah
dan Majelis Ilmu Di Makkah
Sahabat yang mengajar di Makkah
adalah Muadz bin Jabal. Beliau memiliki spesifikasi dalam bidang Al-qur’an dan
hukum-hukum halal dan haram dalam Islam. Nantinya Madrasah ini dilanjutkan oleh
Ibnu Abbas yang datang ke Mekkah pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Ibnu Abbas mengajarkan Fiqh, tafsir, hadist dan sastra. Ibnu Abbaslah yang
membuat Madrasah Mekkah ini berkembang dan terkenal.
Tercatat beberapa murid-murid
madrasah Mekkah ini yang akan memainkan peran penting dalam Islam. Diantaranya
adalah; Mujahid bin Jabbar ahli tafsir Qur’an, Atta’ bin Abi Rabbah seorang
yang ahli dalam ilmu Fiqh, serta Tawus bin Kaisan seorang Fuqaha dan Mufti yang
ada di Mekkah. Generasi selanjutnya dari Madrasah ini adalah; Sufyan bin
Uyainah, Muslim bin Khalid Al-zanji. Imam asy-Syafi’i sebelum berangkat ke
Madinah belajar dengan dua ulama tersebut[25]
2. Madrasah
Madinah
Madrasah Madinah lebih terkenal
dibandungkan dengan madrasahh-madrasah lainnya di masa itu. Hal ini terkait
dengan banyaknya para sahabat Nabi yang menetap di Madinah seperti Zaid bin
Tsabit dan Abdullah bin Umar. Selain itu para Khulafaur rasyidin tinggal di
daerah ini. Madrasah Madinah inilah yang yang nantinya melahirkan ulama-ulama
terkemuka seperti; Said Al-Musayab, Urwah bin Zubair, dan generasi setelahnya
yaitu Ibnu SyihabAl-Zuhri[26]
3. Madrasah
Basrah
Para sahabat di Basrah yang
mengajarkan ilmunya di sana adalah Abu Musa Al-Asy’ari dan Anas bin Malik yang
terkenal dengan keahliannya di bidang Fiqh, hadist dan Al-Qur’an. Generasi
penerus madrasah Basrah yaitu Hasan Al-Bashri dan Ibnu Sirin[27].
4. Madrasah
Kufah
Guru utama Madrasah Kufah dari
kalangan sahabat adalah Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Ibnu Mas’ud
adalah utusan resmi Khalifah Umar bin Khatab untuk mengajarkan agama kepada
masyarakat Kufah. Madrasah Kufah inilah yang nantinya akan melahirkan banyak
ulama kelas satu di antaranya : Alqamah, Al-Aswad, Masruq, Al-harits bin Qais
dan amr bin Syurahbil. Angkatan selanjutnya madrasah ini melahirkan ulama
seperti Abu Hanifah[28].
5. Madrasah
Damsyik
Di Damsyik para guru dari sahabat
Nabi adalah Muadz bin Jabal, Ubadah dan Abu Darda. Ketiga sahabat tersebut
diutus pada masa Khalifah Umar bin Khatab. Madrasah ini kemudian diteruskan
oleh para murid-murid meraka di antaranya adalah Abu Idris Al-Khailany, Makhul
Al-Dimasyqi, Umar nin Abdul Aziz dan Raja’ bin Haiwah. Akhirnya muncullah
seorang ulama mazhab yang terkenal Imam Al-Auza’i[29]
6. Madrasah
Fustat (Mesir)
Sahabat yang mendirikan Madrsah dan
menjadi guru di sana adalah Amr bin Ash yang merupakan ahli hadist dan penulis
hadist. Penggantinya adalah Yazid bin Abu Habib Al-Nuby dan Abdullah bin Abu
Ja’far bin Rabi’ah. Murid Yazid yang paling terkenal adalah Abdullah bin
Lahi’ah[30].
Pada masa Abu Bakar Ash-Shidiq,
Al-Qur’an mulai dikumpulkan untuk dibukukan. Hal ini mengingat banyaknya
sahabat penghafal Al-Qur’an yang gugur di medan perang. Untuk tugas besar ini,
ditunjuklah Zaid bin Tsabit. Metode Zaid dalam menyusun Al-Qur’an adalah dengan
menyeleksi ragam tulisan yang telah ada sebelumnya yang dimiliki masyarakat.
Syaratnya adalah orang itu hafal ayat tersebut dan ia menuliskannya dengan
didukung oleh dua
orang saksi[31].
Perhatian para khalifah terhadap
Al-Qur’an tidak pernah terputus. Pekerjaan besar dalam menyatukan ragam bacaan
Al-Qur’an yang dikhawatirkan akan menimbulkan gesekan kuat dalam tubuh kaum
muslimin terjadi pada masa Utsman bin Affan menjadi khalifah[32]. Maka Utsman menunjuk dua belas orang
yang ahli Al-Qur’an untuk memecahkan masalah ini yang dikomandoi oleh Zaid bin
Tsabit dan Ubay bin Ka’ab. Dua belas orang tersebut antara lain;Said bin
Al-Ash, Nafi’ bin Zubair bin Amr bin Naufal, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah
bin Az-Zubair, Abdurrahman bin Hisham, Kathir bin Aflah, Anas bin Malik,
Abdullah bin Abbas, Malik bin Abi Amir, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Amr
bin Ash[33].
Terdapat metode pendidikan khas kaum
muslimin yang telah dikembangkan sejak jaman Rasulullah hingga sekarang. Metode
ini adalah sistem sanad yang digunakan untuk menguji otensitas sebuah
riwayat. Sistem ini bermula dari zaman Rasulullah dan berkembang menjadi ilmu
tersendiri pada akhir abad pertama hijriyah. Landasannya adalah pada kebiasaan
sahabat untuk menghadiri majelis Rasulullah secara bergiliran. Sahabat yang
tidak hadir mendapatkan pelajaran dari yang hadir apa yang telah dilihat dan
didengar oleh mereka. Ketika menyampaikan pengajaran tersebut, mereka
menyebutkan “ Rasulullah melakukan hal ini dan ini”. Dermikian juga ketika
informasi itu sampai ke tangan ketiga, ia akan menyebutkan secara lengkap
berita tersebut.
Pada awalnya sistem Isnad ini tidak
terlalu dipentingkan. Namun berhubungan dengan fitnah besar yang melanda kaum
muslimin, maka sistem isnad ini diwajibkan untuk menghindari
informasi-informasi palsu yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Pada masa
selanjutnya semangat mencari ilmu yang otentik, mendorong para sarjana untuk
melakukan Rihlah yaitu pengembaraan dalam mencari hadits[34]. Hal inilah yang membuat ditemukannya
banyak hadits dengan ungkapan-ungkapan yang sama namun berasal dari belahan
dunia yang berbeda yang masing-masing melacak kembali asal-usulnya yang
bermuara pada sumber yang sama yaitu Rasulullah SAW, sahabat dan Thabi’in.
Syarat-syarat diterimanya suatu
riwayat pun menggunakan standar yang ketat. Standar penerimaan ulama terhadap
suatu riwayat dengan melihat pada beberapa hal yaitu;
1. Pribadi
para periwayat. Para rawi dalam sistem isnad benar-benar orang yang
selamat aqidahnya, bagus akhlaknya, amanah, selalu shalat berjamaah, tidak
pernah berdusta walaupun sekali semenjak dewasa dan bebas dari cacat mental.
Selain itu kemampuan dan akurasinya dalam bidang hadist dan ilmu sudah mumpuni.
Baik akhlak maupun kemampuan akademik harus mendapatkan pengakuan dari para
Imam / Sarjana Muslim yang telah memenuhi kualitas seperti yang dititurkan di
atas
2. Sanad
Riwayat itu sendiri. Seperti klarifikasi hubungan guru dan murid yang harus
memiliki saksi dari para sarjana yang lainnya, jaringan riwayat yang tidak
terputus serta pemeriksaan silang menyeluruh terhadap isnad-isnad lainnya.[35]
3. Matan
/ isi Riwayat tersebut. Apakah matannya bertentangan dengan hadist yang lebih
shahih atau tidak, apakah matannya Gharib (aneh), ataukah matannya
bertentangan dengan Al-Qur’an ataukah tidak[36]..
b.
Periode Dinasti Umayyah
Pada masa dinasti Umayyah,
perkembangan Islam semakin pesat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Jika
masa sebelumnya pendidikan Islam dilaksanakan di Kuttab, Shuffah ataupun di
rumah-rumah para ulama dan Masjid, maka pada masa ini pendidikan Islam juga
dilakukan di dalam Istana untuk mengajar dan mendidik keluarga-keluarga
kerajaan. Selain itu para penguasa dinasti Umayyah seringkali mengadakan
majelis-majelis keilmuwan. Mu’awiyah sendiri serimg menyelenggarakan
majelis-majelis tersebut dengan mengundang ulama, sastrawan, dan ahli sejarah
untuk memberikan penjelasan pada Mu’awiyah sejarah bangsa Arab melalui
syair-syair arab, cerita-cerita persia dan sistem pemerintahan serta
administrasi kerajaan Persia[37].
Pada masa ini mulai terjadi
pembidangan dalam ilmu tafsir, hadist, fikih dan ilmu kalam. Dalam bidang
hadist muncul sosok seperti Hasan Al-Bashri, dalam bidang fiqih terdapat ulama
terkemuka bernama Ibnu Shihab Al-Zuhri, dalam bidang ilmu kalam muncullah nama
Washil bin Atha’ yang merupakan peletak dasar Mu’tazilah. Selain itu berkembang
pula Bahasa Arab. Kecenderungan untuk mempelajari bahasa Al-Qur’an dan
pemerintahan, kebutuhan orang-orang non arab yang telah ditaklukkan dengan
bahasa Arab dan banyaknya orang-orang non arab yang menggunakan bahasa Arab
namun dialeknya dianggap merusak bahasa Arab menyebabkan besarnya tuntutan akan
pendalaman bahasa Arab sehingga lahirlah ilmu bahasa Arab. Tokoh-tokohnya natara
lain Abu Al-aswad ad-Duali (murid Ali bin Abi Thalib) dan Sibawaih[38].
Selain itu muncullah sekolah
Al-Badiyah. Sekolah Al-Badiyah adalah sekolah bagi para Pangeran dinasti
Umayah. Badiyah adalah nama gurrun pasir di Suriah dimana suku-suku Badui
tinggal dengan mempertahankan kemurnian adat dan bahasa mereka. Pelajaran yang
diberikan adalah berburu, menunggang kuda / unta, memeras anggur dan menggubah
syair. Para pangeran berusaha untuk menyerap bahasa Arab murni yang tidak
tercemar denggan bahasa Aramaik. Tempat ini pula tempat pengungsian keluarga
kerajaan dari wabah penyakit yang menjangkiti kota[39].
Kondisi Mekkah dan Madinah yang
cukup tenang dari hiruk pikuk politik membuat banyak calon ulama datang dan
belajar di kedua kota suci ini pada masa Dinasti Umayyah. Madinah terkenal
dengan banyaknya ahli hadist. Dua orang ahli hadist yang tinggal di Madinah
adalah Anas bin Malik dan Abdullah bin Umar. Mekkah terkenal dengan kemampuan
ulamanya dalam menafsirkan Al-Qur’an dan ilmu fikih. Ulama yang terkenal adalah
Ibnu Abbas, sepupu Rasulullah SAW[40].
Kekuasaan Islam yang membentang luas
ternyata membuat bangsa Arab mengadopsi ilmu pengetahuan daerah yang
ditaklukkannya. Lama kelamaan peran Mekkah dan Madinah sebagai pusat
intrelektual kaum muslimin tersaingi dengan hadirnya dua kota besar di Irak,
yaitu Basrah dan Kufah. Tokoh terpandang di Kufah yang merupakan ahli hadist
dan qiro’ah adalah ibnu Mas’ud dan Al-Sya’bi yang dikirim oleh khalifah Abdul
Malik dalam sebuah delegasi penting untuk raja Bizantium di Konstantinopel[41].
Selain ilmu hadist, Qur’an dan
bahasa Arab, penulisan sejarah mendapatkan prioritas terbesar. Keinginan para
pembesar istana yang ingin mengetahui kisah hidup para Nabi dan orang-orang
besar terdahulu yang menjadi landasan penulisan buku-buku tentang penaklukan
(Maghazi) dan Sirah. Siroh yang paling tertua mungkin adalah siroh Ibnu Ishak
yang kemudian menjadi rujukan bagi Ibnu Hisyam untuk menulis sirohnya pula.
Atas undangan Mu’awiyah hadir pula tokoh seperti Abid bin Syaryah untuk
memberitahu khalifah tentang raja-raja Arab masa lalu dan suku mereka. Abid
menulis sebuah buku berjudul Kitab Al-Muluk wa Akhbar Al-madin (Buku tentang
para raja dan sejarah bangsa-bangsa terdahulu). Selain itu muncul pula tokoh
ahli asal-usul Wahb bin Munnabih dan Ka’ab Al-Ahbar[42].
Kebudayaan literer juga berkembang
pada masa dinasti Umayyah. Kegandrungan pada puisi dan pidato, membuat bidang
ini mendapatkan perhatian khusus. Tokoh-tokoh cendekiawan dalam bidang ini
antara lain; Abdul Hamid Al-Katib, ‘Ali Al-ahnaf, Ibnu Qays, Akhtam ibn Shayfi,
Umar bin Abi Rabi’ah, Jamil dari Bani ‘Udzrah yang sukses dengfan karyanya yang
legendaris Layla Majnun, Miskin Al-darimi, Hammad Al-Rawiyah dan lain
sebagainya[43].
Sekolah puisi pun dibangun pada masa
dinasti Umayyah yang dikepalai oleh Farazdaq (640-728) dan Jarir (W.729).
sekolah puisi di ibukota kerajaan dikepalai oleh Al-Akhtal (640-710). Mereka
adalah penggubah puisi satir dan puisi pujian. Sedangkan sekolah secara formal,
Philip K Hitti berpendapat belum ada pada masa dinasti Umayyah ini. Selain ke
Badiyah, pada masa Abdul Malik, seorang guru dipanggil ke Istana untuk mendidik
putra Khalifah. Masyarakat luas yang ingin mendapatkan pendidikan akan
menggunakan masjid untuk mempelajari Al-Qur’an dan Hadist. Karena itu guru-guru
pertama dalam Islam adalah para pembaca Qur’an (Qarra’). Umar bin Abdul Aziz
mengirimkan Yazid bin Habib ke Mesir sebagai hakim agung di sana. Di Kuffah
terdapat tokoh al-Dhahak ibnu Muzahim yang mendirikan semacam sekolah dasar
(Kuttab) dan tidak memungut bayaran dari siswa. Pada abad kedua hijriyah
seorang badui yang tidak diketahui namanya mendirikan sekolah di Basrah dengan
memungut bayaran[44].
Sedangkan dalam ilmu pengobatan dan
kedokteran, kedokteran arab lebih terpengaruh pada pengobatan yunani dan
Persia. Dokter-dokter Arab pada masa ini adalah Harits bin Kaladah dari Taif
yang menuntut ilmu di Persia. Ia adalah orang arab pertama yang belajar ke
Persia dan mendapatkan gelar kehormatan sebagai “dokter Arab”. Karirnya sebagai
dokter dilanjutkan dengan anaknya Al-Nadzr. Selain itu tterdapat tabib istana
yang menonjol seperti Ibnu Utsal, dan Tayazhuq. Seorang dokter di Basrah bernama
Masarjawayh pada masa Marwan bin hakam mencoba mbenerjemahkan sebuah naskah ke
dalam bahasa arab tentang pengobatan Suriah yang awalnya ditulis dalam bahasa
Yunani.
Ilmu lainnya adalah ilmu kimia. Khalid putra Khalifah Umayah kedua dan seorang filsuf
merupakan orang Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku dalam bahasa Yunani
dan Koptik tentang Kimia ke dalam bahasa Arab. Selain itu Ja’far Ah-Shadiq
seorang keturunan Ali bin Abi Thalib dan salah satu dari 12 Imam Syi’ah
disebut- sebut menulis naskah tentang astrologi dan kimia. Namun hal ini telah
ditentang poleh sarjana-sarjana modern. Dalam sejarah kita bisa melacak judul
karya pada masa dinasti Umayah. Namun mengutip ungkapan Philip K Hitti bahwa;
“Kenyataan paling tidak menyenangkan
seputar kehidupan intelektual pada masa Umayyah adal;ah bahwa ia tidak
mewariskan kepada kita sumber-sumber berbentuk dokumen yang bisa dijadikan
bahan kajian”[45]
3. Masa
Kejayaan Pendidikan Islam
Seperti
dijelaskan di atas, masa kejayaan pendidikan Islam adalah saat Bani Abbasiyah
berkuasa hingga jatuhnya Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan Islam karena
serbuan bangsa Mongol. Keilmuwan Islam pada masa ini sebenarnya adalah
perpaduan antara berbagai macam warisan peradaban yang berada di bawah naungan
Islam dengan melalui proses absorpsi kelebihan budaya lain lalu memodifikasi
dengan berbagai ide baru sehingga menjadi jembatan penghubung antara tradisi
keilmuwan masa lalu dan masa depan[46].
Proses transmisi literatur Hellenestik tidak bisa terlepas dari peran para
sarjana yang ahli dalam bidang pemikiran Helenestik. Migrasi sarjana-sarjana
athena, Alexandria dan Byzantium ke dalam wilayah-wilayah perlindungan Islam
membawa warisan ilmu ke dalam dunia Islam[47]. Penerjemahan karya pun marak dilakukan
dengan didirikannya Baitul Hikmah. Dalam sejarahnya Khalifah al-Ma’mun pun
memberikan kompensasi yang besar bagi ilmuwan yang mampu menerjemahkan
buku-buku berbahasa Yunani ke bahasa Arab.
Pengaruh Filsafat Hellenestik ini akhirnya memberi pengaruh pada bidang agama.
Banyaknya muncul aliran kalam yang beragam adalah salah satu akibat dari
pengaruh filsafat Hellenestik ini. Seperti Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah dan
lain sebagainya. Hal ini berlangsung hingga Imam Al-Ghazali memewnangkan
penggunaan dialektika dan logika yang terbatas, karena khawatir jika digunakan
secara serampangan akan berakibat pada hilangnya keimanan dalam hati[48].
Selain dalam bidang agama, filsafat helenestik ini mempengaruhi pula bidang
ilmu lainnya seperti kedokteran, aljabar, kimia, Astronomi dan lain sebagainya.
Hal ini dibuktikan dengan munculnya banyak ilmuwan yang ahli dalam
bidang-bidang tersebut.
Setidaknya terdapat tujuh lembaga pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah.
Diantaranya adalah;
1. Lembaga
pendidikan dasar (Kuttab)
2. Lembaga
pendidikan Masjid (Al-Masjid)
3. Kedai
Pedagang Kitab (al-Bawanit al-Waraqin)
4. Tempat
tinggal para ulama (Manazil Al-Ulama)
5. Sanggar
seni dan sastra
6. Perpustakaan
(Daar Al-Kutb Wa Daar Al-Ilm)
7. Lembaga
pendidikan sekolah (al-Madrasah)[49]
Masing-masing lembaga pendidikan ini
memiliki karakteristiknya masing-masing. Namun secara umum seluruh lembaga
pendidikan tersebut dapat dibedakan menjadi empat tingkat yaitu; pertama,
tingkat rendah yang terdiri dari Kuttab, rumah, toko, pasar dan istana, kedua,
tingkat sekolah menengah yang mencangkup Masjid, sanggar seni, dan ilmu
pengetahuan sebagai lanjutan pelajaran di Kuttab. Ketiga tingkat perguruan
tinggi yang meliputi madrasah dan perpustakaan seperti Bait Al-Hikmah dan Daar
al-ulum di Kairo.
Pada tingkat pendidikan rendah,
kurikulum yang diajarkan anatara lain; membaca dan menghafal Al-qur’an,
pokok-pokok agama seperti Wudhu’, shalat dan puasa, menulis, kisah orang-orang
besar, membaca dan menghafal syair-syair, menghitung dan pokok-pokok nahwu dan
sharaf ala kadarnya[50]. Namun bukan berarti kemudian kurikulum
ini berlaku untuk semua wilayah. Di Maghribi (Maroko) hanya diajarkan
Al-qur’an, menulis dan syair sedangkan di andalusia selain ketiga pelajaran
tersebut ditambah dengan khath (tulisan indah) dan pokok-pokok nahwu sharaf. Di
Tunisia lebih ditekankan pada hafalan qur’an selain Hadist dan ilmu-ilmu pokok
agama.
Waktu belajar di Kuttab dilakukan
pada pada pagi hari hingga waktu shalat ashar. Sekolah di mulai dari hari sabtu
hingga hari kamis sedangkan pada hari Jum’at sekolah diliburkan. Selain itu
pada saat 1 syawal dan idul adha serta hari tasyrik sekolah diliburkan. Jam
pelajaran di bagi menjadi tiga yaitu pelajaran al-Qur’an di pagi hari hingga
waktu duha, menulis dimulai dari waktu dhuha hingga waktu Dzuhur dan pelajaran
ilmu lainnya seperti Nahwu, bahasa Arab, syair dan berhitung dimulai setelah
dzuhur hingga ashar[51]. Untuk lebih jelas perhatikan tabel
berikut.
No
|
Waktu
|
Mata Pelajaran
|
Keterangan
|
1
|
Pagi – waktu dhuha
|
Al-Qur’an
|
|
2
|
Waktu Duha – Dzuhur
|
Menulis
|
|
3
|
Dzuhur
|
Istirahat
|
Siswa
diperbolehkan pulang untuk makan siang
|
4
|
Dzuhur - Ashar
|
Nahwu/
bahasa Arab/ Syair / berhitung
|
Tabel 1.1. Jadwal Mata Pelajaran
Kuttab
Pada tingkat dasar ini, pendidikan
tidak menggunakan sistem klasikal, tanpa bangku, meja dan papan tulis. Guru mengajar
anak secara satu persatu. Metode yang digunakan adalah metode pengulangan dan
hafalan. Artinya guru mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an di depan murid dan murid
mengikutinya kemudian murid wajib menghafalkan apa yang disebutnya tadi.
Hafalan tersebut tidak hanya sebatas pada hafalan Al-Qur’an dan hadist. Namun
juga merembet pada ilmu-ilmu lainnya seperti syair, lagu (wazn) sehingga murid
mampu menghafalnya dengan mudah.
Pada jenjang pendidikan menengah,
pelajaran yang diajarkan antara lain; Al-Qur’an, bahasa Arab dan kesusasteraan,
Fiqih, Tafsir, hadits, Nahwu / Sharaf/balaghah, ilmu-ilmu eksak, mantiq, falak,
tarikh, ilmu-ilmu kealaman, kedokteran dan musik[52].
Sedangkan metodologi pengajaran pada
masa ini menurut Hasan ‘Abd ‘Al secara garis besar dibagi menjadi dua. Pertama,
metode pengajaran bidang keagamaan yang diterapkan pada materi materi seputar
Fiqh, tata bahasa, teologi / ilmu kalam, menulis, lagu dan sejarah. Kedua,
metode pengajaran bidang intelektual yang meliputi olahraga, ilmu-ilmu eksakta,
filsafat, kedokteran dan musik yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
serta ilmu-ilmu kebahasaan[53].
Dalam jenjang pendidikan tinggi,
secara umum pendidikan tinggi memiliki dua fakultas. Pertama fakultas Ilmu-ilmu
agama serta bahasa dan sastra Arab yang mengkaji ilmu-ilmu berupa, Tafsir,
Hadist, fiqih dan ushul fiqih, Nahwu / sharaf, Balaghah, bahasa dan sastra
arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah/ Filsafat yang mendalami mantiq
(logika), ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu eksakta, ilmu ukur, ilmu falak,
ilmu-ilmu teologi, ilmu tentang hewan, ilmu-ilmu tentang tumbuhan, ilmu
kedokteran. Pelajaran ini se,muanya diajarkan dan belum memiliki spesifikasi
tersendiri. Spesialisasi tersebut ditentukan setelah tamat dari perguruan
tinggi berdasarakan bakat dan kecenderungan masing-masing siswa.
Metode yang digunakan dalam
pendidikan tinggi adalah halaqah. Guru duduk di atas alas duduk sedangkan siswa
melingkari sang guru. Guru memberikan materi kepada semua siswa yang hadir.
Sebelum mengajar sang guru menyusun sebuah Ta’liqah atau semacam silabus yang
ditulis oleh masing-masing tenaga pengajar berdasarkan catatan perkuliahannya
ketika menjadi mahasiswa, hasil bacaan dan pendapatnya tentang materi yang
bersangkutan.
Sedangkan metode-metodde pengajaran
dilakukan dengan beberapa metode yaitu :
1.
Metode ceramah (Al-Muhadlaroh). Dalam metode ini guru menyampaikan materi
kepada mahasiswa dengan diulang-ulang sehingga mereka hafal terhadap yang
dikatakannya. Metode ini terbagi menjadi dua cara yaitu: metode dikte (Al-Imla)
dan metode pengajuan terhadap guru (Al-Qira’at ‘ala al-syaikh aw al-ardl)
2.
Metode diskusi (Al-Muhadzarah). Metode ini digunakan untuk menguji
argumentasi-argumentasi yang diajukan sehingga dapat teruji.
3.
Metode koresponden jarak jauh (al-ta’lim bi al-murasilah). Metode yang
digunakan para mahasiswa untuk bertanya pada guru yang jauh secara tertulis
pula.
4.
Metode rihlah ilmiah. Metode ini dilakukan oleh para siswa baik secara pribadi
maupun secara kelompok untuk datang berkunjung ke rumah ulama untuk berdiskusi,
bertukar pikiran dan bertanya tentang suatu permasalahan. Biasanya jarak yang
ditempuh cukup jauh[54].
Selain Dinasti Abbasiyah, Dinasti
Fatimiyah (Syiah) pun tidak ketinggalan dalam memajukan bidang pendidikan.
Panglima Jauhar as-Sakili mendirikan masjid Al-Azhar pada tahun 359 H/ 970 M
dan selesai pembangunannya pada tahun 671 M. Di samping sebagai masjid tempat
dilaksanakannya sholat jum’at, dalam perkembangannya masjid al-Azhar berkembang
menjadi lembaga pendidikan yang cukup besar. Bermula dari fuqaha terkenal dan
pejabat-pejabat pemerintahan Bani fatimiyah yang b erkumpul di Al-azhar
untuk mendengarkan kuliah mum yang disampaikan oleh Hakim agung Abu Hanifah
Nu’man bin Muhammad al-Qirawani dengan menggunakan prinsip-prinsip syi’ah.
Al-Azhar pun berkembang dengan luar
biasa. Tidak hanya ilmu-ilmu keagamaan saja yang diajarkan namun juga ilmu-ilmu
umum seperti Kedokteran, musik, Filsafat, matematika dan lain sebagainya
diajarkan pula. Namun sejak Shalahudin Al-Ayubi berhasil mematahkan dinasti
fatimiyah, Al-Azhar ditutup selama 98 tahun dan baru dibuka saat Sultan
Al-zahir Baibars berkuasa.
Bentuk selanjutnya dari lembaga
pendidikan Islam adalah Madrasah. Namun hadirnya madrasah tidak mereduksi
pendidikan yang telah ada pada kuttab maupun masjid. Perbedaan madrasah dan
lembaga pendidikan lainnya terletak pada komplerksitas kurikulum yang
diajarkan, tidak terletak pada sistem dan metode pembelajaran[55].
Madrasah-madrasah yang berkembang
pada masa ini antara lain;
1. Madrasah
Nizhamiyah. Madrasah ini didirikan oleh pembesar zaman Seljuk dan didirikan
oleh Nizhamudin Al-Mulk. Madrasah ini terdapat Baghdad, Balk, Naisyabur, Harat,
Isfahan, Basrah, Marw, Mausul dan lain-lain. Namun madrasah Nizhamiyah
Baghdadlah yang paling besar. Para guru madarasah ini antara lain Syiraz,
Al-ghazali, Ibnu Shabagh, Al-ghazali, Ibnu Al-Anbar dan lain-lain. Kurikulumnya
lebih menitikberatkan pada pendalaman fiqh dan tidak diajarkan ilmu filsafat.
Selain fiqh diajarkanm pula ilmu nahwu dan ilmu kalam. Metode pembelajaran yang
dikembangkan adalah ceramah dimana guru menjelaskan pembelajaran dan diiringi
dengan tanya jawab oleh murid kepada sang guru
2. Madrasah
Nurudin az-Zanki. Madrasah ini didirfikan oleh Nurudin az-Zanki di Damaskus.
Fasilitasnya sudah cukup lengkap dengan luas dan kelengkapan kelas serta WC
yang tersedia. Kurikulum madrasah ini khusus mengajarkan fiqh mazhab Hanafi dan
bahasa Arab. Guru-gurunya yang terkenal adalah Burhanudin Mas’ud dan Imaduddin
bin al-Thursusi.
3. Madrasah
Al-Mustanshiriyah. Madrasah ini terletak di Baghdad dan didirikan oleh khalifah
al-Mustanshir billah. Fasilitas madrasah ini cukup mewah pada zamannya. Diantaranta
terdapat tempat belajar, tenmpat tidur, tempat makan, perpustakaan, rumah
sakit, rumah obat, gudang, tempat mandi, dapur, kebun dan masjid. Kurikulumnya
adalah mengajarkan Fiqh mazhab empat, hadist, ilmu qur’an, bahasa Arab,
kedokteran dan ilmu pasti
4. Sekolah
Kedokteran. Di Damaskus terdapat dua sekolah kedokteran yaitu Al-dahuriyah yang
didirikan oleh Muhazzibudin Dakhur dan Madrasah Al-Danishiriyah yangg didirikan
Imanudin Al-Danisary. Pengermbangan ilmu kedokteran pun sangat bergantung pada
rumah sakit[56].
Di Spanyol pun tidak ketinggalan
dalam kegiatan intelektual yang sama. Pusat-pusat kegiatan intelektual berada
di Sevilla, Kordova, granada, Murcia, Toledo dan kota-kota lain. Bayak
sekolah-sekolah dan perpustakaan yang didirikan dimana mereka memberikan
pelajaran bebas mengenai ilmu dan sastra. Salah satu kota yang memiliki
kegiatan intelektual paling dinamis adalah Cordova. Ilmu-ilmu seperti Geografi,
Astronomi, Kimia, Sejarah dan kesusteraan mewarnai peradaban eropa di abad-abad
yang mendatang[57]. Observatorium pun dibangun pada menara
Sevila. Ini merupakan observatorium pertama di eropa
Ibnu Khaldun sendiri dalam bukunya
Muqaddimah secara panjang lebar menjelaskan tentang ilmu-ilmu yang diajarkan
kepada siswa saat ia hidup. Daftar pelajaran tersebut adalah :
- 1. Ilmu tafsir dan ilmu qiraat
- 2. Ilmu-ilmu hadits
- 3. Ilmu fiqih termasuk di dalamnya ilmu tentang hukum waris fiqih
- 4. Ilmu faraidl
- 5. Ilmu ushul Fiqh dan cabang-cabangnya, dialektika dan soal-soal kontroversial
- 6. Ilmu Kalam
- 7. Ilmu Tasawuf
- 8. Ilmu ta’bir mimpi
- 9. Ilmu filsafat
- 10. AlJabar
- 11. Aritmetika bisnis
- 12. Ilmu mekanika
- 13. Ilmu pengukuran tanah
- 14. Ilmu optika
- 15. Astronomi
- 16. Ilmu mantiq
- 17. Ilmu kedokteran
- 18. Fisika
- 19. Ilmu pertanian
- 20. Metafisika
- 21. Ilmu sihir dann Azimat
- 22. Ilmu rahasia surat
- 23. Ilmu Kimia[58]
4. Masa Kemunduran Pendidikan Islam
Kemunduran
pendidikan Islam ini seiring sejalan dengan kemunduran islam dalam arus
peradaban manusia. Hal ini bermula dari jatuhnya Baghdad oleh tentara Tar Tar
dan Mongol. Namun bukan hanya akibat serangan itu saja kejatuhan Baghdad
terjadi. Philip K Hitti lebih menekankan bahwa keruntuhan negeri 1001 malam itu
akibat dari faktor internal antara lain pecahnya persatuan dan kesatuan, pola
hidup mewah dan desentralisasi kekuasaan hingga khalifah tidak dapat memantau
daerah-daerah jauh yang berkembang menjadi kuat[59].
Dalam dunia intelektual pun jurang-jurang perbedaan antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum semakin dalam. Jika dahulu umat Islam mensinergikan kedua ilmu
tersebut, namun yang berkembang pada saat itu adalah filsafat fatalistik yang
dianut oleh para sufi dan dalam bidang fiqh menutup pintu ijtihad karena
dinilai semua berkaitan tentang fiqh telah final.
Zuhairini mengutip pendapat M.M Sharif menyatakan bahwa pikiran islam menurun
setelah abad ke XIII M dan terus melemah sampai abad ke XVIII M. Diantara
sebab-sebab melemahnya pikiran Islam tersebut antara lain:
1. Telah
berkelebihan filsafat Islam yang bercorak sufistik yang dikembangkan oleh
Al-ghazali ke dunia timur dan berkelebihan pula filsaffat Ibnu Rusyd yang
bersifat rasionalistik ke dunia barat. Semakin lama perbedaan ini semakin lebar
hingga corak sufi Al-ghazali lebih bersifat rohaniah fatalistik sedangkan corak
filsafat Ibnu Rusyd bermuara pada materialisme[60].
2. Para
pejabat negara serta kaum bangsawan telah melupakan dan melalaikan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan serta tidak memberikan kesempatan untuk berkembang.
Para ahli ilmu pengetahuan umumnya terlibat dalam pemerintahan
3. Terjadinya
pemberontakan-pem,berontakan yang diiringi dengan penyerangan dari luar,
sehingga menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibatkan berhentinya
kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam[61]
Fazlurrahman berpendapat bahwa
kemunduran umat Islam dalam kehidupan intelektual antara lain disebabkan oleh;
1) Penutupan pintu ijtihad yang menyebabkan kemacetan dalam bidang ilmu hukum
dan ilmu intelektual 2) Pengucilan diri yang disengaja dari kegiatan
intelektualisme, 3) Pengucilan diri dari bentuk-bentuk pemikiran keagamaan
seperti yang dibawa oleh sufisme[62].
Kegiatan-kegiatan penulisan kitab
pun macet total. Kebanyakan adalah pemberian komentar terhadap kitab-kitab
ulama yang terdahulu. Lalu komentar-komentar tersebut dikomentari lagi oleh
ulama yang lain. Madrasah-madrasah telah berevolusi menjadi zawiyah-zawiyah
sufi yang lebih memperhatikan kesalehan individu daripada kesalehan sosial.
Riwayat-riwayat yang menjurus pada fatalisme laku keras seperti “Dunia adalah
penjara untuk kaum beriman dan surga bagi kaum kafir”, “Barangsiapa yang
mengenali dirinya maka akan mengenali Tuhannya” dan lain sebagainya.
Dalam zawiyah-zawiyah tersebut,
kurikulum madrasah yang dinamis diganti dengan kurikulum khas sufi yang statis,
khususnya di India dimana sejak abad ke 8 karya-karya Al-Suhrawardi dan ibnu
Al-“arabi dikaji secara luas. Materi pelajaran pun begitu sederhana. Buku-buku
ataupun kitab-kitab yang dipelajari sangat sedikit. Waktu yang digunakan untuk
menyelesaikan studi pun demikian singkat. Sehingga wajar kualitas sarjana yang
dihasilkan tidak mampu menandingi kualitas sarjana Islam yang muncul di masa
lalu[63].
5. Masa Pembaharuan Pendidikan Islam
Setelah
periode kemunduran pendidikan Islam yang diikuti oleh mundurnya Islam dalam
kancah peradaban, mulailah muncul kaum pembaharu yang ingin membenahi keadaan
tersebut. Setidaknya kaum pembaharu ini terbagi menjadi 3 kelompok pemikiran.
Pertama, golongan yang berorientasi pada pola pendidikan modern barat. Mereka
berpendapat bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup yang dialami oleh
baratadalah sebagai hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern
yang mereka capai. Tokoh-tokoh gerakan ini antara lain Muhammad Ali Pasya, dan
sultan Mahmud II dari Turki. Kedua, adalah golongan yang melakukan pembaharuan
yang berorientasi pada sumber Islam yang murni. Pola ini berpandangan bahwa
Islam itu sendiri adalah sumber kemajuan dan kekuatan. Ketika terjadi
kemunduran, dipastikan bahwa ajaran Islam sudah tidak orisinil karena
tercampuri dengan anasir-anasir asing yang mencemarinya. Tokoh golongan ini
adalah Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaludin Al-Afgani, Muhammad Abduh hingga
Rasyid Ridho. Ketiga adalah golongan yang berorientasi pada nasionalisme
kebangsaan. Rasa nasionalisme itu timbul bersamaan dengan penjajahan dunina
brat terhadap negeri-negeri Muslim yang awalnya merdeka. Mereka mendapati bahwa
Islam telah menyebar ke segenap negeri dengan karakter masing-masing negeri
yang mewarnainya.[64]
Tak dapat disangkal bahwa pembaharuan pendidikan Islam bergantung pada
intensitas hubungannya dengan dunia barat. Termasuk terhadap tokoh-tokoh muslim
yang belajar ke barat ataupun melakukan kunjungan ke barat. Faktor lainnya
penyebab pemabahruan pemdidikan ini adalah semakin menguatnya cengkraman
imperialisme di negara muslim yang menyebabkan Islam tersudut dalam arena
politik dan memaksa untuk memikirkan reformasi pendidikan Islam dari pendidikan
Islam tradisional[65]
Setidaknya
terdapat dua tipologi modernisasi dalam pendidikan di dunia Muslim, pertama
melakukan transformasi pendidikan tradisional seperti madrasah sehingga menjadi
modern, terutama dengan memasukan ilmu-ilmu modern dan transformasi
kelembagaan. Kedua, mendirikan lembaga pendidikan baru untuk mengakselerasi
modernisasi. Pendekatannya cukup menunjukkan terjadinya proses absorpsi yaitu
mengadopsi ilmu-ilmu umum modern hanya terbatas pada level tekhnologi dan
menolak aspek filosofis yang digunakan untuk mengembangkan tekhnologi tersebut
serta menerbitkan jurnal-jurnal untuk menyuarakan modernisasi Islam ke seluruh
dunia[66].
Setiap dunia Islam memiliki pengalaman berbeda mengenai pembaharuan pendidikan
ini. Sebagai contoh adalah Mesir. Pembaharuan Islam di Mesir dicanangkan oleh
Muhammad Ali Pasha pada abad ke 19. Modernisasi ini dipengaruhi oleh faktor
politik dimana Muhammad Ali ingin memperbaharui pasukan militer dan
administrasi kenegaraannya. Meskipun demikian lembaga-lembaga pendidikan
tradisional seperti Kuttab dan Madrasah terutama yang paling penting sekali
adalah Al-Azhar tetap dibiarkan beroperasi malah dijadikan basis rekrutmen
murid untuk sekolah-sekolah modern[67]. Al-Azhar pun melakukan pembaharuan pada
tahhun 1896 dengan dibentuknya Majelis Idarat Al-Azhar (Dewan administrasi)
yang diikuti dengan lembaga lain seperti majelis al-a’laa yang berkaitan dengan
anggaran universitas dan Ha’yat Kibaril ulama yang memutuskan perkara berkaitan
dengan teologis dan politik. Kurikulum di Al-Azhar berkembang pada masa Mahmud
Syaltut (1958-1964) yang membuka fakultas-fakultas umum dan tidak hanya seputar
agama belaka[68]
Jika Mesir mendapatkan ruh pembaharuan dari pemerintahnya, berbeda dengan kasus
Aran Saudi yang mendapatkan pengaruh pembaharuan islam dari interaksi dengan wilayah
Islam sekitarnya. Haji adalkah salah satu media penyebaran paham pembaharuan
tersebut. Madrasah-Madrasah modern di Saudi pada mulanya di bangun oleh Turki
Usmani. Sete;ah saudi lepas dari Turki usmani, madrasah-madrasah tersebut
menjadi sekolah “Hasyimiyah” yang mengkombinasian antara ilmu pengetahuan agama
dan umum[69].
[2] Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia : Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
(jakarta : Rajagrafindo Persadda, 1999) hal 5-6
[4] M.M.
Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text From Revelation to Compilation
( Jakarta : Gema Insani Press, 2005) hal. 27
[6] Kesalahan
persepsi ini mengundang banyak orientalis yang menyangsikan keaslian Al-Qur’an
dengan mencari – cari perbedaan antara khat – khat Al-Qur’an dari masa ke masa.
berdasarkan perbedaan susunan urutan ayat. Hal ini dikritik secara cukup dalam
oleh Al-A’zami dalam karyanya. Lihat M.M. Al-A’zami, The History of The
Qur’anic Text From Revelation to Compilation ( Jakarta : Gema Insani Press,
2005
[10] Khalid
Muhammad Khalid, 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW (Jakarta : Al-I’tishom
: 2007) hlm. 6-8
[13] M.M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text From Revelation to
Compilation ( Jakarta : Gema Insani Press, 2005) hal 66
[18] M.M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text From Revelation to
Compilation ( Jakarta : Gema Insani Press, 2005) ghal 68
[19]
Peristiwa Bir Ma’unah terjadi pada bulan Shafar tahun ke 4 H. Peristiwa
ini bermula dari datangnya Abu Bara’ bin Malik bin Ja’far seorang yang jago
memainkan tombak menghadap Rasulullah. Ia menolak masuk Islam namun namun tidak
ingin jauh dari Islam. Ia mengusulkan agar Rasulullah mengutus pendakwah ke
Nejed. Awalnya Rasulullah menolak karena khawatir akan terjadi sesuatu yang
buruk dengan sahabat-sahabat yang diutus. Namun Abu Bara’ menjamin keselamatan
mereka. Akhirnya Rasulullah mengutus Al-Mundzir bin Amr bersama –sama empat
puluh sahabat yang Hafidz Qur’an. Delegasi itu tiba di Bir Ma’unah yang
terletak di antara tanah hitam berbatu Bani Amir dengan tanah hitam berbatu
Bani sulaim. Namun lebih dekat dengan tanah berbatu Bani Sulaim. Ketika
delegasi tiba di sana dikirimlah Haram bin Milhan mengantarkan surat
Rasulullah kepada Amir bin Thufail. Surat itu tak dibuka malah Haram bin
Milhan dibunuh. Amr bin Thufail dan pasukannya akhirnya mengepung Biru Ma’unah
dan membunuh semua Qori’ yang diutus Rasulullah SAW, Lih. Lihat, Ibnu Hisyam, Siroh
Nabawiyah Ibnu Hisyam jilid 1 (Jakarta : Darul Falah, 2005) hal 151-154
[20] M.M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text From Revelation to
Compilation ( Jakarta : Gema Insani Press, 2005) hal 69-70
[21] Inilah yang disebut oleh Sejaraawan Pendidikan Islam sebagai Kuttab /
Maktab, diambil dari kata Taktib yang artinya mengajar menulis. Sebenarnya
Kuttab telah ada sebelum Islam hadir di tanah Arab. Lihat Samsul Nizar, Sejarah
dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam : Potret Timur Tengah Era Awal dan
Indonesia (Jakarta: Quantum Teaching, 2005) hal 5-12
[22] M.M.
Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text From Revelation to Compilation
( Jakarta : Gema Insani Press, 2005al 72-73
[24] Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islamu (Bandung
: Rosdakarya, 2014) hal 16
[31] Hal
ini berdasarkan pada satu riwayat bahwa Abu Bakar mengatakan pada Umar dan Zaid
“ Duduklah di depan pintu gerbang Masjid Nabawi. Jika ada orang yang membawa
sepotong ayat dari kitab Allah dengan dua orang saksi, maka tulislah” riwayat
ini dari Ibnu Abi Dawud dalam al-Mashafi. Lihat M.M. Al-A’zami, The History
of The Qur’anic Text From Revelation to Compilation ( Jakarta : Gema Insani
Press, 2005
[32] Hal
ini berkaitan dengan laporan Hudzaifah bin Yaman dari perbatasan Azerbaijan dan
Armenia yang telah menyatukan kekuatan perang Irak dan Suriah melaporkan bahwa
terjadi perpecahan di tubuh kaum Muslimin karena membaca Al-Qur’an dengan
berbagai macam dialek. Sehingga Hudzaifa mengusulkan disatukannya bacaan
Al-Qur’an sebelum perpecahan itu lebih luas terjadi. Ibid, hal 97
[34] Rihlah
bisa dikatakan pula salah satu cara dalam pendidukan kaum Muslimin. Umum
diketahui bahwa para ulama tidak hanya memiliki satu guru namun banyak guru
bahkan mencapai ratusan dan ribuan guru. Hal ini dapat dengan mudah kita jumpai
dalam biografi-biografi para Iamam Hadist seperti Imam Sahmad bin Hanbal, Imam
Asy-Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud dan lain sebagainya.
[35] Hal ini berbeda dengan Bibel. Perhatikan ayat dalam injil berikut ; “Teofilus yang Mulia, Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita
tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi antara kita, seperti yang
disampaikan kepada kita oleh mereka yang dari semula adalah saksi mata
dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala
peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan
untuk membukukannya dengan teratur bagimu” (Lukas 1 : 1-3)
Ada celah dimana pengakuan Lukas
ini dapat dikritisi kebenaran apa yang ia peroleh dari pelayan firman dan
saksi. Pertama, siapa saja mereka yang telah mengabarkannya pada Lukas.
Dan kedua apa Metode yang Lukas gunakan dalam penelitiannya. Hal ini tidak tercantum. Nama perawi, apakah ia berbohong atau tidak kita
tidak tahu. Hal ini bisa dibandingkan dengan Hadist dimana kita bisa tahu mana
Rawi yang pembohong atau Tsiqoh / dapat dipercaya. Sehingga kita mengetahui
mana hadist Palsu, Dhoif maupun Shahih karena nama perawi dicantumkan. Belum lagi saksi terhadap perawi tersebut. Lihat Hardiansyah, Menilik
Lebih Jauh Penyimpangan Al-Kitab (Buku tidak diterbitkan, 2007)
[36] Tulisan yang sangat baik dalam hal ini adalah karya MM Al-A’zami yang
merupakan guru dari Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’qub, dimana dalam karyanya ini
Syaikh Al-A’zami tidak hanya mengupas tentang seluk beluk ilmu hadist namun
juga membiuat sanggahan terhadap teori-teori para orientalis mengenai Hadist.
Diantaranya adalah teori Goldzhier, Nicholson maupun Scahcht. Lihat Al-A’zami, Hadist
Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)
[46] Sebenarnya
para sejarawan agak bingung untuk menentukan istilah ini. Jika dikatakan
keilmuwan Arab, maka tidak hanya ilmuwan Arab yang memainkan peranannya pada
periode ini, namun juga ilmuwan-ilmuwan Persia dan daerah liannya. Jika disebut
Keilmuwan / Sains Islam juga kurang tepat, karena tidak hanya orang islam yang
memberikan kontribusinya pada masa kejayaan pendidikan islam ini. Richard
Convington menyebutnya Sains / keilmuwan Arab dengan beralasan walau
bagaimanapun, orang arablah yang menjadi kunci pembuka peradaban. Namun Ehsan
masood tidak sependapat dengan hal tersebut. Ia cenderung menyebutnya sebagai
Sains Islam. Lihat. Richard Convington, Rediscovering Arabic Science
(Aramco. May / June 2007). Lihat pula Ehsan Masood, Ilmuwan-ilmuwan Muslim
Pelopor hebat di bidang Sains Modern. Diterjemahkan oleh Fahmy Yamani
(Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2009)
[48] Abuddin
Nata, Sejarah Pendidikan islam pada Periode Klasik dan Pertengahan
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010) hal 165-166
[49] Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islamu (Bandung
: Rosdakarya, 2014) hal 23
[55] Arief
Subhan, lembaga pendidikan Islam Indonesia abad ke 20 : Pergulatan antara
Modernitas dan identitas (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2009) hal 33
[56] Iskandar
Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islamu (Bandung :
Rosdakarya, 2014) hal 50-53
[60] Imam
Al-Ghazali telah menulis buku tentang kerancuan filsafat berjudul Tahafut
Al-falasifah yang kemudfian dibantah oleh ibnu Rusyd dengan mengeluarkan buku
berjudul Tahafut Al-tahafut
[65] Pandangan
ini dikemukakan oleh Albert Hourani seorang sarjana Inggris keturunan Lebanon.
Lihat Arief Subchan, Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia abad ke 20:
Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2009) hal 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar