Sabtu, 09 Februari 2019

Sejarah perkembangan pendidikan islam


Sejarah perkembangan pendidikan islam  



Sejarah perkembangan pendidikan sebenarnya mengikuti sejarah Islam itu sendiri. Oleh sebab itu, periodesasi sejarah pendidikan Islam dapat dikatakan berada dalam periodesasi sejarah Islam itu sendiri. Harun Nasution membagi periodesasi ini ke dalam periode klasik, pertengahan dan modern[1]. Secara garis besar dari ketiga periodesasi tersebut dapat diperinci kembali menjadi lima masa yaitu; .masa hidupnya Nabi Muhammad SAW, masa khulafaurrasyidin, masa dinasti Ummawi, masa dinasti Abbasiyah dan masa dari runtuhnya Baghdad sampai sekarang.
Kelima periodesasi tersebut lebih kental pada periodesasi penulisan sejarah Islam. Peneliti Sejarah Pendidikan islam yang lain membagi secara lebih kompleks periodesasi dalam penulisan Sejarah Pendidikan Islam yaitu ; pertama, Periode pembinaan pendidikan Islam yang berlangsung pada masa Nabi Muhammad SAW selama lebih kurang 23 tahun sejak beliau menerima wahyu hingga wafatnya. Dalam periode ini Rasulullah adalah guru dan para sahabat adalah murid-muridnya. Kedua, periode pertumbuhan pendidikan Islam yang berlangsung sejak wafatnya Rasulullah sampai dengan akhir kekuasaan dinasti Umawi. Pada masa ini yang memegang peran sentral adalah para sahabat Nabi dan generasi tabi’in. Ketiga, periode kejayaan pendidikan islam berlangsung dari awal munculnya kekuasaan Abbasiyah higga runtuhnya kota Baghdad akibat serangan tentara Mongol. Pada periode ini yang memegang peranan penting bukan hanya ulama, tapi juga ilmuwan-ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu dan banyak pula mereka yang tidak memeluk agama Islam. Periode keempat adalah tahap kemunduran yang berlangsung sejak jatuhnya Baghdad hingga penaklukan Napoleon atas Mesir pada abad ke 18. Hal ini ditandai dengan berpindahnya pusat kebudayaan dunia dari timur ke dunia barat. Kelima, tahap pembaruan pendidikan islam yaitu ditandai dengan masuknya Napoleon ke Mesir sampai saat ini. Pemegang peranan penting dalam tahap ini adalah para pembaharu Islam yang tampil ke dalam lintasan sejarah. Periode ini ditandai dengan penyerapan unsur-unsur pendidikan barat ke dalam pendidikan Islam[2].
   1.  Pembinaan Pendidikan Islam di masa Rasulullah dan Model Pendidikannya
a.        Pendidikan Islam Periode Makkah
Pembinaan pendidikan di masa Rasulullah dapat dibagi menjadi dua, yaitu saat Rasulullah berada di Makkah dan setelah Rasulullah berhijrah ke Madinah. Sebelum diutus menjadi Rasul, Nabi Muhammad SAW telah dididik oleh Allah melalui pengalaman, pengenalan dan peran sertanya dalam kehidupan masyarakat.  Allah menjaganya dari kebiasaan-kebiasaan kaum kafir Quraisy yang buruk seperti mabuk-mabukan, berzina ataupun menyembah berhala. Rasulullah pun diberikan tanggung jawab sebagai penggembala kambing, dimana para Nabi semuanya adalah penggembala[3].
            Setelah memasuki usia ke 40 tahun, Allah mengutusnya untuk menyebarkan ajaran Islam kepada umat. Tahap pertama dalam penyampaian dakwah ini disebarkan dalam kalangan terbatas seperti pada keluarga terdekat dan teman dekatnya. Orang pertama yang masuk ke dalam agama ini adalah Khadijah, istrinya, Ali bin Abi Thalib seorang sepupunya, Zaid bin Haritsah anak angkatnya dan  Abu Bakar seorang teman dekatnya. Melalui Abu Bakar banyak pula orang-orang yang masuk Islam seperti Zubair bin Awwam, Usman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqash dan Abdurrahman bin ‘Auf[4]. Setelah dakwah secara tertutup barulah masuk ke dalam fase berdakwah secara terbuka.
            Rumah Arqom bin Abil Arqom adalah madrasah Nabi yang pertama dalam mendidik dan mengajarkan Al-Qur’an. Banyak kaum Quraisy yang masuk Islam dengan menghadap Nabi di rumah Arqom ini. Diantaranya adalah Mushab bin Umair dan Umar bin Khatab. Kisah Umar bin Khatab pertama kali masuk Islam sangat menarik jika kita cermati.
            Suatu hari Umar keluar rumah menenteng pedang terhunus hendak melibas leher Nabi Muhammad. Beberapa sahabat sedang berkumpul dalam sebuah rumah di bukit Safa. Jumlah mereka sekitar empat puluhan termasuk kaum wanita. Di antaranya adalah paman Nabi Muhammad, Hamzah, Abu Bakar, Ali dan juga sahabat yang lain yang tidak ikut hijrah ke Etiopia. Nua’im secara tidak sengaja berpapasan dan bertanya hendak kemana Umar pergi. “ Saya hendak menghabisi Muhammad, manusia yang telah membuat orang Quraisy khianat terhadap agama nenek moyang dan mereka tercabik-cabik serta ia (Muhammad) mencaci maki tata cara kehidupan, agama, dan tuhan-tuhan kami. Sekarang akan aku libas dia. “Engkau hanya akan menipu diri sendiri, Umar” Kata Nua’im “ Jika engkau menganggap bahwa Bani Abdul Manaf mengizinkanmu menapak di bumi ini hendak memutus nyawa Muhammad, lebih baik pulang temui keluarga anda dan selesaikan permasalahan mereka” Umar pulang sambil bertanya-tanya apa yang menbimpa keluarganya. Nu’aim menjawab “ Saudara ipar, keponakan yang bernama Said serta adik perempuanmu telah mengikuti agama baru yang dibawa Nabi Muhammad. Oleh karena itu, akan lebih baik jika anda menghubungi mereka”. Umar cepat-cepat memburu iparnya di rumah, tempat Khabab sedang membaca surat Taha dari sepotong tulisan Al-Qur’an. Saat mereka dengar suara Umar, Khabab lari masuk ke kamar kecil, sedang Fatimah mengambil kertas kulit yang bertuliskan Al-Qur’an dan diletakkan di bawah pahanya”[5]
            Dari keterangan kisah di atas dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an telah ditulis pada periode awal Islam. Ketika ayat Al-Qur’an turun Rasulullah memanggil para sahabatnya untuk menghapalkan ayat Al-Qur’an yang turun tersebut dan beberapa orang menuliskannya. Penekanan pendidikan pada masa hidup Nabi Muhammad baik di Mekkah maupun di Madinah adalah pembacaan dan penghafalan Al-Qur’an. Perlu digaris bawahi di sini Al-Qur’an bukan berasal dari teks tertulis yang kemudian dihafalkan, namun berasal dari hafalan yang kemudian dituliskan[6].
            Dalam periode Mekkah ini terdapat beberapa sahabat yang menjadi guru dalam mengajarkan Al-qur’an. Mereka adalah :
1.      Ibnu Mas’ud adalah orang pertama yang mengajarkan Al-qur’an di Mekkah
2.      Khabbab mengajarkan Al-qur’an pada Fatimah (saudara perempuan Umar bin Khatab) dan suaminya Sa’id bin Zaid
3.      Mushab bin Umair dikirim oleh Nabi Muhammad SAW ke Madinah sebagai guru mengaji Al-qur’an[7].
Hasil pendidikan Al-qur’an dalam periode Mekkah ini cukup memuaskan walaupun harus berhadapan dengan siksaan dari kaum musyrikin kota Mekkah. Para sahabat dengan semangat mengajarkan Al-qur’an di kabilah-kabilahnya dan orang – orang yang ditemui olehg meraka. Adapun hasil pendidikan Al-qur’an di Mekkah ini antara lain bisa dilihat dari :
1.      Saat Nabi Muhammad tiba di Madinah, beliau diperkenalkan oleh seorang anak muda bernama Zaid bin Tsabit, anak lelaki berusia sebelas tahun yang telah menghafal enam belas surah Al-qur’an
2.      Barra menjelaskan bahwa ia sudah mengenal seluruh surah Al-Muffasal (terdiri dari surat Al-Qaf hingga akhir Al-qur’an) sebelum Nabi Muhammad tiba di Madinah[8]
Dalam periode Mekkah ini titik tekan materi pembelajaran adalah masalah tauhid yang mendalam untuk mengikis habis kesyirikan-kesyirikan yang mungkin masih melekat di hati para sahabat dan membuat pertentangan tegas dengan kepercayaan masyarakat Quraisy. Intisari ajaran tauhid tersebut adalah sebagaimana yang tercermin dalam surat Al-Fatihah. Pokok-pokoknya adalah :
1.      Bahwa Allah adalah pencipta alam semesta yang sebenarnya. Dialah satu-satunya yang menguasai dan mengatur alam ini sedemikian rupa, sehingga merupakan tempat yang sesuai dengan kehidupan manusia. Dia pulalah yang telah mengatur kehidupan manusia, mendidik dan membimbingnya, sehingga mendapatkan kehidupan sebagaimana yang mereka alami. Oelh karenanya, hanya Dialah yang memiliki segalanya, yang berhak mendapatkan pujian. Manusia harus memuji-Nya karena semua makhluk pun  memuji-Nya juga. Memuji Allah harus dilasanakan langsung kepada-Nya, bukan seperti kebiasaan masyarakat yang memuji Tuhan dengan perantaraan berhala-berhala mereka. Berhala-berhala tersebut sebenarnya tidak berarti apa-apa, tidak memberikan mudarat ataupun manfaat dalam kehidupan mereka, sedangkan yang memberi nikmat dan segala kebutuhan hidup pada hakikatnya adalah Allah. Itulah sebabnya Dialah yang berhak mendapatkan pujian tersebut
2.      Bahwa Allah telah memberikan nikmat, memberikan segala keperluan bagi semua makhluk-Nya dan khusus kepada manusia ditambah dengan petunjuk dan bimbingan agar mendapatkan kebahagiaan hidup yang sebenar-benarnya. Allah telah memberikan keperluan hidup, membimbing dan mendidik manusia dengan penuh kasih sayang, Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Pengertian bahwa Allah bersifat Rahman dan Rahim tersebut, memberikan dorongan untuk menjabarkan sifat kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari terhadap sesama manusia, yang berbeda dengan sikap permusuhan antarsuku yang membudaya di kalangan bangsa Arab pada masanya. Berbeda pula dengan perlakuan mereka yang sewenang-wenang terhadap kaum yang lemah dan tak berdaya.
3.      Bahwa Allah adalah raja hari kemudian, telah memberikan pengertian bahwa segala amal perbuatan manusia selama di dunia akan diperhitungkan di sana. Segala perbuatan yang baik dan perbuatan jahat walau sebesar biji sawi akan dibalas oleh-Nya secara setimpal. Pengertian tersebut bertentangan dengan kepercayaan oirang Arab selama ini , bahwa hari pembalasan itu tidak ada atau tidak ada hidup setelah mati.
4.      Bahwa Allah adalah sesembahan yang sebenarnya dan satu-satunya. Hanya kepada Allah segala bentuk pengabdian ditujukan. Penyembahan kepada selain Allah, tidaklah benar dan harus dihapuskan. Segala bentuk penyembahan dan pengabdian kepada Allah harus sesuai dan menurut apa yang dikehendaki oleh Nya, bukan menurut selera manusia sendiri. Pengertian tersebut mendorong untuk melaksanakan pengabdian kepada Allah secara bertanggung jawab. Segala perbuatan dan pengabdian manusia harus dikerjakan karena Allah semata, bukan karena berhala-berhala.
5.      Bahwa Allah adalah penolong yang sebenarnya dan oleh karenanya hanya kepada Nyalah manusia harus meminta pertolongan. Pengertian ini sekaligus membatalkan permintaan pertolongan kepada selain Allah
6.      Bahwa Allah yang sebenarnya membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia dalam mengarungi kehidupan dunia yang penuh dengan rintangan, tantangan dan godaan. Allah yang memberikan petunjuk ke arah jalan yang lurus, jalan yang ditempuh oleh orang-orang shaleh terdahulu, jalan hidup warisan Ibrahim yang sebenarnya. Pengertian tersebut memberikan kesadaran bahwa jalan yang ditempuh selama ini bukanlah jalan Allah. Demikian pula jalan hidup orang-orang Yahudi dan Nasrani yang dikenal selama ini, buikanlah jalan hidup yang dibenarkan Allah[9]

Namun dakwah Rasulullah mendapatkan tantangan yang luar biasa dari kaum kafir Quraisy. Rasulullah mencoba kembali dakwahnya ke Tha’if namun gagal pula. Kemudian, setiap msuim haji Rasulullah mengunjungi kemah-kemah jama’ah untuk menyampaikan ajaran tauhid tersebut. Namun hanya satu jam’ah dari Yatsrib yang menerima ajakannya.
Dari sinilah usaha untuk memperkenalkan Islam kepada seluruh masyarakat Yatsrib (Madinah) dimulai. Rasulullah mengutus Mush’ab bin Umair untuk mendakwahkan Islam ke sana. Mush’ab tidaklah mengecewakan Rasulullah. Pada awalnya penduduk Islam di Madinah hanya 12 orang saja. Namun haji pada musim selanjutnya, 70 orang Islam tiba di Mekkah. Mush’ab dengan cerdik mendekati para pemuka-pemuka Kabilah yang ada di Madinah seperti Usaid bin Hudhair, Sa’ad bin Muadz dan Sa’ad bin Ubadah. Dengan masuknya Islam mereka, maka berbondong-bondonglah penduduk Yatsrib masuk ke dalam Islam[10]. Dengan kesuksesan Mush’ab bin Umair ini dimulailah periodesasi dakwah dan penyebaran pendidikan Islam di Madinah dengan peristiwa Hijrah sebagai pintu gerbangnya.
Mahmud Yunus menerangkan beberapa hal berkaitan dengan pendidikan Islam pada masa Mekkah ini bahwa pembinaan pada periode ini meliputi :
1.  Pendidikan keagamaan yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata-mata, jangan dipersekutukan dengan nama berhala, karena Tuhan itu Maha Besar dan Maha Pemurah, sebab itu hendaklah dienyahkan berhala itu sejauh-jauhnya.
2.  Pendidikan akliyah dan ilmiyah yaitu mempelajari kejadian manusia dari segumpal darah dan kejadian alam semesta. Allah akan mengajarkan demikian itu kepada orang-orang yang mau menyelidiki dan membahasnya, sedangkan mereka dulu belum belum mengetahuinya. Untuk mempelajari hal tersebut haruslah dengan banyak membaca dan menyelidiki serta memakai pena untuk mencatat.
3.  Pendidikan akhlak dan budi pekerti, Nabi Muhammad SAW mengajarkan sahabatnya agar berakhlak baik sesuai dengan ajaran tauhid.
4. Pendidikan jasamani (kesehatan) yaitu mementingkan kebersihan pakaian, badan, dan tempat kediaman[11].

b.        Pendidikan Islam Periode Madinah
Jika pada periode Makkah ciri pendidikan Islam lebih dititik tekankan pada pendalaman tauhid, maka pada periode Madinah ini lebih ditekankan pada aspek sosial dan politik dengan cakupan yang lebih luas dengan tetap disandarkan pada penjiwaan terhadap tauhid itu sendiri[12].
Hal pertama yang dilakukan oleh Nabi ketika tiba di Madinah adalah mendirikan Masjid sebagai pusat ibadah dan pusat Pendidikan Islam kaum muslimin. Dalam hal ini Rasulullah membuatkan sebuah Suffah di dalam masjid yang berfungsi sebagai tempat belajar pemberantasan buta huruf, dengan menyediakan makanan dan tempat tinggal[13].
Qatadah menyebutkan terdapat sembilan ratus orang yang menjadi ahli suffah tersebut walaupun ulama lainnya menyatakan hanya empat ratus orang. Saat Nabi mengajarkan Al-Qur’an maka sahabatseperti Abdullah bin Said al-Ash, Ubadah bin Shamit dan Ubay bin Ka’ab mengajarkan  dasar-dasar penting membaca dan menulis[14]. Selain itu Rasulullah juga membacakan Al-Qur’an kepada para tokoh terkemuka yang bukan ahlu-suffah seperti Abdullah bin Salam 9seorang Yahudi yang masuk Islam), Ubay bin Ka’ab, Hisyam bin Hakim, Umar bin Khatab dan Ibnu Mas’ud. Selain itu banyak pula utusan yang tiba ke Madinah, masuk Islam dan diajarkan Al-Qur’an oleh Rasulullah dengan diberi makanan dan tempat penginapan[15].
Perang badar yang dimenangkan oleh kaum muslimin membuat banyak para tawanan perang. Untuk menebus diri mereka, mereka diminta untuk membayar seribu hingga empat ribu dirham. Jika tawanan perang tersebut adalah orang tak mampu banyak yang dibebaskan tanpa tebusan oleh Rasulullah[16]. Banyak pula dari mereka yang dapat membaca dan menulis, menebus diri mereka dengan mengajarkan sahabat-sahabat Rasulullah membaca dan menulis[17]. Dengan cara ini Rasulullah secara cerdas mencoba memberantas buta huruf di kalangan para sahabatnya.
 Banyak pula murid-murid Rasulullah menjadi guru untuk kaum muslimin yang lain ataupun diutus untuk mengajarkan Al-Qur’an pada orang lain. Tokoh-tokoh sahabat itu antara lain : Ubadah bin Shamit mengajarkan Al-Qur’an pada masa kehidupan Rasululah SAW, Ubay bin Ka’ab mengajarkan Al-Qur’an pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Ia juga mengajarkan seorang buta di rumahnya, Abu said Al-Khudri, Sahl bin Said Al-Anshari, Uqbah bin Amir, Jabir bin Abdullah, Anas bin malik, Muadz bin Jabal dikirim ke Yaman, Abu Ubaid dikirim ke Najran, wabra’ bin Yuhannas mengajar Al-Qur’an di San’a (yaman)kepada Ummu Said binti Buzrug semmasa kehidupan Nabi Muhammad SAW[18]
Hasil dari pendidikan ini adalah munculnya para Huffaz di kalangan para sahabat. Banyak para sahabat yang kemudian di bunuh pada peristiwa bir Ma’unah[19]. Nama-nama mereka yang masih hidup dan mengajarkan Al-qur’an di Madinah dan daerah-daerah kekuasaan Islam lainnya adalah ; Ibnu Mas’ud, Abu Ayyub, Abu Bakar As-shidiq, Abu Darda’, Abu Zaid, Abu Musa Al-Ashari, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab, Ummu Salamah, Tamim Ad-Dari, Sa’ad bin Mundhir, Hafsah, Zaid bin Tsabit, Salim Maula Abu Hudzaifah, Sa’ad bin Ubadah, Sa’ad bin Ubaid Al-Qari, Sa’ad bin Mundhir, Shihab al-Qurashi, Talhah, Aisyah, Ubadah bin Shamit, Abdullah bin Sa’ib, Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr, Utsman bin Affan, Atta bin Markayud (orang persia yang tinggal di Yaman), Uqbah bin Amir, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khatab, Amr bin Al-Ash, Fudhail bin Ubaid, Qays bin abi Sa’sa’a, Mujamma bin Jariya, Maslama bin Makhlad, Muadz bin Jabal, Muadz Abu Halima, Ummu Warqah, dan Abdul Wahid[20]
Selain menghafal Al-Qur’an, tradisi akademik yang dikembangkan oleh Rasulullah adalah penulisan Al-Qur’an[21]. Kebiasaan Nabi yang memanggil para sahabat yang bisa menulis setelah wahyu turun untuk menghapalkan ayat tersebut dan menuliskannya, telah memunculkan banyak sahabat yang menjadi penulis Al-Qur’an. Mereka adalah; Abban bin Said, Abu Umama, Abu Ayub Al-Anshari, Abu Bakar As-Shidiq, Abu Hudzaifa, Abu Sufyan, Abu Salama, Abu ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, Al-Arqam, Usaid bin Hudair, Aus, Buraida, Bashir, Tsabit bin Qais, Ja’far bin Abi Thalib, Jahm bin Sa’ad, Suhaim, Hatib, Hudzaifa, husain, Hanzala, Huwaitib, Khalid bin Sa’id, Khalid bin Walid, Zubair bin Awwam, Zubair bin Arqam, Zaid bin Tsabit, Sa’ad bin Abi Rabi’, Sa’ad bin Ubadah, Sa’id bin Sa’id, Shurahbil bin Hasna, Thalhah, Amir bin Fuhaira, ‘Abbas, Abdullah bin Arqom, Abdullah bin Abi Bakar, Abdullah bin Rawahah, Abdullah bin Zaid, Abdullah bin Sa’ad, Abdullah bin Abdullah, Abdullah bin Amr, Utsman bin Affan, Uqba, Al-‘ala bin Uqbah, Ali bi abi Thalib, Umar bin Khatab, Amr bin al-ash, Muhammad bin Maslama, Mu’adz bin jabal, Mu’awiyah, Ma’n bin adi, Mu’aqib bin Mughirah, Mundhir, Muhajir dan Yazid bin abi Sufyan[22].
Zuhairini dkk menerangkan bahwa pendidikan pada periode Mekkah ini adalah Pendidikan sosial politik dan kewarganegaraan. Materi pokok pendidikan ini adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam piagam Madinah, yang dalam prakteknya diperinci lebih lanjut dan disempurnakan dengan ayat-ayat yang turun selama periode Madinah. Tujuan pendidikan ini adalah agar pokok pikiran yang terkandung dalam konstitusi Madinah ini diakui tidak hanya di Madinah saja tapi juga untuk seluruh jazirah Arabia. Pelaksanaan praktek ini dijabarkan dalam bentuk a) Pendidikan Ukhuwah (persaudaraan) dimana Rasulullah mempersuadarakan kaum Anshar dengan kaum Muhajirin untuk mengokohkan umat Islam, b) Pendidikan Kesejahteraan Sosial, c) pendidikan anak yang terdiri dari pendidikan tauhid, pendidikan Salat dan pendidikan  adab dan sopan santun dalam keluarga dan masyarakat, pendidikan kepribadian, d) Pendidikan pertahanan dan keamanan[23].

   2.  Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam Pasca Rasulullah
       a. Periode Khulafaurrasyidin
Sistem pendidikan Islam pada masa Khulafaur Rasyidin dilakukan secara mandiri tidak dikelola oleh pemerintah kecuali pada masa Khalifah Umar bin Khatab yang turut campur dalam materi lembaga pendidikan Kutab. Sahabat-sahabat Rasulullah telah mendirikan majelis-majelis ilmu mereka masing-masing.
   Seiring dengan perkembangan wilayah Islam, maka pusat pendidikan Islam tidak hanya ditemukan di Madinah saja. Tapi telah menyebar ke daerah lainnya seperti Basrah dan Kufah (Iraq), Palestina dan Damsyiq (Syam) dan kota Fustat (Mesir)[24]. Tenaga pengajar dan ahli pendidikan di masing-masing daerah adalah tokoh-tokoh sahabat yang mendirikan Majelis dan madrasah masing-masing. Mereka adalah:
1.      Madrasah dan Majelis Ilmu Di Makkah
Sahabat yang mengajar di Makkah adalah Muadz bin Jabal. Beliau memiliki spesifikasi dalam bidang Al-qur’an dan hukum-hukum halal dan haram dalam Islam. Nantinya Madrasah ini dilanjutkan oleh Ibnu Abbas yang datang ke Mekkah pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Ibnu Abbas mengajarkan Fiqh, tafsir, hadist dan sastra. Ibnu Abbaslah yang membuat Madrasah Mekkah ini berkembang dan terkenal.
Tercatat beberapa murid-murid madrasah Mekkah ini yang akan memainkan peran penting dalam Islam. Diantaranya adalah; Mujahid bin Jabbar ahli tafsir Qur’an, Atta’ bin Abi Rabbah seorang yang ahli dalam ilmu Fiqh, serta Tawus bin Kaisan seorang Fuqaha dan Mufti yang ada di Mekkah. Generasi selanjutnya dari Madrasah ini adalah; Sufyan bin Uyainah, Muslim bin Khalid Al-zanji. Imam asy-Syafi’i sebelum berangkat ke Madinah belajar dengan dua ulama tersebut[25]

2.      Madrasah Madinah
Madrasah Madinah lebih terkenal dibandungkan dengan madrasahh-madrasah lainnya di masa itu. Hal ini terkait dengan banyaknya para sahabat Nabi yang menetap di Madinah seperti Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar. Selain itu para Khulafaur rasyidin tinggal di daerah ini. Madrasah Madinah inilah yang yang nantinya melahirkan ulama-ulama terkemuka seperti; Said Al-Musayab, Urwah bin Zubair, dan generasi setelahnya yaitu Ibnu SyihabAl-Zuhri[26]
3.      Madrasah Basrah
Para sahabat di Basrah yang mengajarkan ilmunya di sana adalah Abu Musa Al-Asy’ari dan Anas bin Malik yang terkenal dengan keahliannya di bidang Fiqh, hadist dan Al-Qur’an. Generasi penerus madrasah Basrah yaitu Hasan Al-Bashri dan Ibnu Sirin[27].
4.      Madrasah Kufah
Guru utama Madrasah Kufah dari kalangan sahabat adalah Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Ibnu Mas’ud adalah utusan resmi Khalifah Umar bin Khatab untuk mengajarkan agama kepada masyarakat Kufah. Madrasah Kufah inilah yang nantinya akan melahirkan banyak ulama kelas satu di antaranya : Alqamah, Al-Aswad, Masruq, Al-harits bin Qais dan amr bin Syurahbil. Angkatan selanjutnya madrasah ini melahirkan ulama seperti Abu Hanifah[28].


5.      Madrasah Damsyik
Di Damsyik para guru dari sahabat Nabi adalah Muadz bin Jabal, Ubadah dan Abu Darda. Ketiga sahabat tersebut diutus pada masa Khalifah Umar bin Khatab. Madrasah ini kemudian diteruskan oleh para murid-murid meraka di antaranya adalah Abu Idris Al-Khailany, Makhul Al-Dimasyqi, Umar nin Abdul Aziz dan Raja’ bin Haiwah. Akhirnya muncullah seorang ulama mazhab yang terkenal Imam Al-Auza’i[29]
6.      Madrasah Fustat (Mesir)
Sahabat yang mendirikan Madrsah dan menjadi guru di sana adalah Amr bin Ash yang merupakan ahli hadist dan penulis hadist. Penggantinya adalah Yazid bin Abu Habib Al-Nuby dan Abdullah bin Abu Ja’far bin Rabi’ah. Murid Yazid yang paling terkenal adalah Abdullah bin Lahi’ah[30].
Pada masa Abu Bakar Ash-Shidiq, Al-Qur’an mulai dikumpulkan untuk dibukukan. Hal ini mengingat banyaknya sahabat penghafal Al-Qur’an yang gugur di medan perang. Untuk tugas besar ini, ditunjuklah Zaid bin Tsabit. Metode Zaid dalam menyusun Al-Qur’an adalah dengan menyeleksi ragam tulisan yang telah ada sebelumnya yang dimiliki masyarakat. Syaratnya adalah orang itu hafal ayat tersebut dan ia menuliskannya dengan didukung oleh dua
orang saksi[31].
Perhatian para khalifah terhadap Al-Qur’an tidak pernah terputus. Pekerjaan besar dalam menyatukan ragam bacaan Al-Qur’an yang dikhawatirkan akan menimbulkan gesekan kuat dalam tubuh kaum muslimin terjadi pada masa Utsman bin Affan menjadi khalifah[32]. Maka Utsman menunjuk dua belas orang yang ahli Al-Qur’an untuk memecahkan masalah ini yang dikomandoi oleh Zaid bin Tsabit dan Ubay bin Ka’ab. Dua belas orang tersebut antara lain;Said bin Al-Ash, Nafi’ bin Zubair bin Amr bin Naufal, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Az-Zubair, Abdurrahman bin Hisham, Kathir bin Aflah, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Malik bin Abi Amir, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Amr bin Ash[33].
Terdapat metode pendidikan khas kaum muslimin yang telah dikembangkan sejak jaman Rasulullah hingga sekarang. Metode ini adalah sistem sanad yang digunakan untuk menguji otensitas sebuah riwayat. Sistem ini bermula dari zaman Rasulullah dan berkembang menjadi ilmu tersendiri pada akhir abad pertama hijriyah. Landasannya adalah pada kebiasaan sahabat untuk menghadiri majelis Rasulullah secara bergiliran. Sahabat yang tidak hadir mendapatkan pelajaran dari yang hadir apa yang telah dilihat dan didengar oleh mereka. Ketika menyampaikan pengajaran tersebut, mereka menyebutkan “ Rasulullah melakukan hal ini dan ini”. Dermikian juga ketika informasi itu sampai ke tangan ketiga, ia akan menyebutkan secara lengkap berita tersebut.
Pada awalnya sistem Isnad ini tidak terlalu dipentingkan. Namun berhubungan dengan fitnah besar yang melanda kaum muslimin, maka sistem isnad ini diwajibkan untuk menghindari informasi-informasi palsu yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Pada masa selanjutnya semangat mencari ilmu yang otentik, mendorong para sarjana untuk melakukan Rihlah yaitu pengembaraan dalam mencari hadits[34]. Hal inilah yang membuat ditemukannya banyak hadits dengan ungkapan-ungkapan yang sama namun berasal dari belahan dunia yang berbeda yang masing-masing melacak kembali asal-usulnya yang bermuara pada sumber yang sama yaitu Rasulullah SAW, sahabat dan Thabi’in.
Syarat-syarat diterimanya suatu riwayat pun menggunakan standar yang ketat. Standar penerimaan ulama terhadap suatu riwayat dengan melihat pada beberapa hal yaitu;
1.      Pribadi para periwayat. Para rawi dalam sistem isnad benar-benar orang yang selamat aqidahnya, bagus akhlaknya, amanah, selalu shalat berjamaah, tidak pernah berdusta walaupun sekali semenjak dewasa dan bebas dari cacat mental. Selain itu kemampuan dan akurasinya dalam bidang hadist dan ilmu sudah mumpuni. Baik akhlak maupun kemampuan akademik harus mendapatkan pengakuan dari para Imam / Sarjana Muslim yang telah memenuhi kualitas seperti yang dititurkan di atas
2.      Sanad Riwayat itu sendiri. Seperti klarifikasi hubungan guru dan murid yang harus memiliki saksi dari para sarjana yang lainnya, jaringan riwayat yang tidak terputus serta pemeriksaan silang menyeluruh terhadap isnad-isnad lainnya.[35]
3.      Matan / isi Riwayat tersebut. Apakah matannya bertentangan dengan hadist yang lebih shahih atau tidak, apakah matannya Gharib (aneh), ataukah matannya bertentangan dengan Al-Qur’an ataukah tidak[36]..
b.        Periode Dinasti Umayyah
Pada masa dinasti Umayyah, perkembangan Islam semakin pesat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Jika masa sebelumnya pendidikan Islam dilaksanakan di Kuttab, Shuffah ataupun di rumah-rumah para ulama dan Masjid, maka pada masa ini pendidikan Islam juga dilakukan di dalam Istana untuk mengajar dan mendidik keluarga-keluarga kerajaan. Selain itu para penguasa dinasti Umayyah seringkali mengadakan majelis-majelis keilmuwan. Mu’awiyah sendiri serimg menyelenggarakan majelis-majelis tersebut dengan mengundang ulama, sastrawan, dan ahli sejarah untuk memberikan penjelasan pada Mu’awiyah sejarah bangsa Arab melalui syair-syair arab, cerita-cerita persia dan sistem pemerintahan serta administrasi kerajaan Persia[37].
Pada masa ini mulai terjadi pembidangan dalam ilmu tafsir, hadist, fikih dan ilmu kalam. Dalam bidang hadist muncul sosok seperti Hasan Al-Bashri, dalam bidang fiqih terdapat ulama terkemuka bernama Ibnu Shihab Al-Zuhri, dalam bidang ilmu kalam muncullah nama Washil bin Atha’ yang merupakan peletak dasar Mu’tazilah. Selain itu berkembang pula Bahasa Arab. Kecenderungan untuk mempelajari bahasa Al-Qur’an dan pemerintahan, kebutuhan orang-orang non arab yang telah ditaklukkan dengan bahasa Arab dan banyaknya orang-orang non arab yang menggunakan bahasa Arab namun dialeknya dianggap merusak bahasa Arab menyebabkan besarnya tuntutan akan pendalaman bahasa Arab sehingga lahirlah ilmu bahasa Arab. Tokoh-tokohnya natara lain Abu Al-aswad ad-Duali (murid Ali bin Abi Thalib) dan Sibawaih[38].
Selain itu muncullah sekolah Al-Badiyah. Sekolah Al-Badiyah adalah sekolah bagi para Pangeran dinasti Umayah. Badiyah adalah nama gurrun pasir di Suriah dimana suku-suku Badui tinggal dengan mempertahankan kemurnian adat dan bahasa mereka. Pelajaran yang diberikan adalah berburu, menunggang kuda / unta, memeras anggur dan menggubah syair. Para pangeran berusaha untuk menyerap bahasa Arab murni yang tidak tercemar denggan bahasa Aramaik. Tempat ini pula tempat pengungsian keluarga kerajaan dari wabah penyakit yang menjangkiti kota[39].
Kondisi Mekkah dan Madinah yang cukup tenang dari hiruk pikuk politik membuat banyak calon ulama datang dan belajar di kedua kota suci ini pada masa Dinasti Umayyah. Madinah terkenal dengan banyaknya ahli hadist. Dua orang ahli hadist yang tinggal di Madinah adalah Anas bin Malik dan Abdullah bin Umar. Mekkah terkenal dengan kemampuan ulamanya dalam menafsirkan Al-Qur’an dan ilmu fikih. Ulama yang terkenal adalah Ibnu Abbas, sepupu Rasulullah SAW[40].
Kekuasaan Islam yang membentang luas ternyata membuat bangsa Arab mengadopsi ilmu pengetahuan daerah yang ditaklukkannya. Lama kelamaan peran Mekkah dan Madinah sebagai pusat intrelektual kaum muslimin tersaingi dengan hadirnya dua kota besar di Irak, yaitu Basrah dan Kufah. Tokoh terpandang di Kufah yang merupakan ahli hadist dan qiro’ah adalah ibnu Mas’ud dan Al-Sya’bi yang dikirim oleh khalifah Abdul Malik dalam sebuah delegasi penting untuk raja Bizantium di Konstantinopel[41].
Selain ilmu hadist, Qur’an dan bahasa Arab, penulisan sejarah mendapatkan prioritas terbesar. Keinginan para pembesar istana yang ingin mengetahui kisah hidup para Nabi dan orang-orang besar terdahulu yang menjadi landasan penulisan buku-buku tentang penaklukan (Maghazi) dan Sirah. Siroh yang paling tertua mungkin adalah siroh Ibnu Ishak yang kemudian menjadi rujukan bagi Ibnu Hisyam untuk menulis sirohnya pula. Atas undangan Mu’awiyah hadir pula tokoh seperti Abid bin Syaryah untuk memberitahu khalifah tentang raja-raja Arab masa lalu dan suku mereka. Abid menulis sebuah buku berjudul Kitab Al-Muluk wa Akhbar Al-madin (Buku tentang para raja dan sejarah bangsa-bangsa terdahulu). Selain itu muncul pula tokoh ahli asal-usul Wahb bin Munnabih dan Ka’ab Al-Ahbar[42].
Kebudayaan literer juga berkembang pada masa dinasti Umayyah. Kegandrungan pada puisi dan pidato, membuat bidang ini mendapatkan perhatian khusus. Tokoh-tokoh cendekiawan dalam bidang ini antara lain; Abdul Hamid Al-Katib, ‘Ali Al-ahnaf, Ibnu Qays, Akhtam ibn Shayfi, Umar bin Abi Rabi’ah, Jamil dari Bani ‘Udzrah yang sukses dengfan karyanya yang legendaris Layla Majnun, Miskin Al-darimi, Hammad Al-Rawiyah dan lain sebagainya[43].
Sekolah puisi pun dibangun pada masa dinasti Umayyah yang dikepalai oleh Farazdaq (640-728) dan Jarir (W.729). sekolah puisi di ibukota kerajaan dikepalai oleh Al-Akhtal (640-710). Mereka adalah penggubah puisi satir dan puisi pujian. Sedangkan sekolah secara formal, Philip K Hitti berpendapat belum ada pada masa dinasti Umayyah ini. Selain ke Badiyah, pada masa Abdul Malik, seorang guru dipanggil ke Istana untuk mendidik putra Khalifah. Masyarakat luas yang ingin mendapatkan pendidikan akan menggunakan masjid untuk mempelajari Al-Qur’an dan Hadist. Karena itu guru-guru pertama dalam Islam adalah para pembaca Qur’an (Qarra’). Umar bin Abdul Aziz mengirimkan Yazid bin Habib ke Mesir sebagai hakim agung di sana. Di Kuffah terdapat tokoh al-Dhahak ibnu Muzahim yang mendirikan semacam sekolah dasar (Kuttab) dan tidak memungut bayaran dari siswa. Pada abad kedua hijriyah seorang badui yang tidak diketahui namanya mendirikan sekolah di Basrah dengan memungut bayaran[44].
Sedangkan dalam ilmu pengobatan dan kedokteran, kedokteran arab lebih terpengaruh pada pengobatan yunani dan Persia. Dokter-dokter Arab pada masa ini adalah Harits bin Kaladah dari Taif yang menuntut ilmu di Persia. Ia adalah orang arab pertama yang belajar ke Persia dan mendapatkan gelar kehormatan sebagai “dokter Arab”. Karirnya sebagai dokter dilanjutkan dengan anaknya Al-Nadzr. Selain itu tterdapat tabib istana yang menonjol seperti Ibnu Utsal, dan Tayazhuq. Seorang dokter di Basrah bernama Masarjawayh pada masa Marwan bin hakam mencoba mbenerjemahkan sebuah naskah ke dalam bahasa arab tentang pengobatan Suriah yang awalnya ditulis dalam bahasa Yunani.
            Ilmu lainnya adalah ilmu kimia. Khalid putra Khalifah Umayah kedua dan seorang filsuf merupakan orang Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku dalam bahasa Yunani dan Koptik tentang Kimia ke dalam bahasa Arab. Selain itu Ja’far Ah-Shadiq seorang keturunan Ali bin Abi Thalib dan salah satu dari 12 Imam Syi’ah disebut- sebut menulis naskah tentang astrologi dan kimia. Namun hal ini telah ditentang poleh sarjana-sarjana modern. Dalam sejarah kita bisa melacak judul karya pada masa dinasti Umayah. Namun mengutip ungkapan Philip K Hitti bahwa;
“Kenyataan paling tidak menyenangkan seputar kehidupan intelektual pada masa Umayyah adal;ah bahwa ia tidak mewariskan kepada kita sumber-sumber berbentuk dokumen yang bisa dijadikan bahan kajian”[45]

   3.   Masa Kejayaan Pendidikan Islam
       Seperti dijelaskan di atas, masa kejayaan pendidikan Islam adalah saat Bani Abbasiyah berkuasa hingga jatuhnya Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan Islam karena serbuan bangsa Mongol. Keilmuwan Islam pada masa ini sebenarnya adalah perpaduan antara berbagai macam warisan peradaban yang berada di bawah naungan Islam dengan melalui proses absorpsi kelebihan budaya lain lalu memodifikasi dengan berbagai ide baru sehingga menjadi jembatan penghubung antara tradisi keilmuwan masa lalu dan masa depan[46].
       Proses transmisi literatur Hellenestik tidak bisa terlepas dari peran para sarjana yang ahli dalam bidang pemikiran Helenestik. Migrasi sarjana-sarjana athena, Alexandria dan Byzantium ke dalam wilayah-wilayah perlindungan Islam membawa warisan ilmu ke dalam dunia Islam[47]. Penerjemahan karya pun marak dilakukan dengan didirikannya Baitul Hikmah. Dalam sejarahnya Khalifah al-Ma’mun pun memberikan kompensasi yang besar bagi ilmuwan yang mampu menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani ke bahasa Arab.
       Pengaruh Filsafat Hellenestik ini akhirnya memberi pengaruh pada bidang agama. Banyaknya muncul aliran kalam yang beragam adalah salah satu akibat dari pengaruh filsafat Hellenestik ini. Seperti Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah dan lain sebagainya. Hal ini berlangsung hingga Imam Al-Ghazali memewnangkan penggunaan dialektika dan logika yang terbatas, karena khawatir jika digunakan secara serampangan akan berakibat pada hilangnya keimanan dalam hati[48].
       Selain dalam bidang agama, filsafat helenestik ini mempengaruhi pula bidang ilmu lainnya seperti kedokteran, aljabar, kimia, Astronomi dan lain sebagainya. Hal ini dibuktikan dengan munculnya banyak ilmuwan yang ahli dalam bidang-bidang tersebut.
       Setidaknya terdapat tujuh lembaga pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah. Diantaranya adalah;
1.      Lembaga pendidikan dasar (Kuttab)
2.      Lembaga pendidikan Masjid (Al-Masjid)
3.      Kedai Pedagang Kitab (al-Bawanit al-Waraqin)
4.      Tempat tinggal para ulama (Manazil Al-Ulama)
5.      Sanggar seni dan sastra
6.      Perpustakaan (Daar Al-Kutb Wa Daar Al-Ilm)
7.      Lembaga pendidikan sekolah (al-Madrasah)[49]
Masing-masing lembaga pendidikan ini memiliki karakteristiknya masing-masing. Namun secara umum seluruh lembaga pendidikan tersebut dapat dibedakan menjadi empat tingkat yaitu; pertama, tingkat rendah yang terdiri dari Kuttab, rumah, toko, pasar dan istana, kedua, tingkat sekolah menengah yang mencangkup Masjid, sanggar seni, dan ilmu pengetahuan sebagai lanjutan pelajaran di Kuttab. Ketiga tingkat perguruan tinggi yang meliputi madrasah dan perpustakaan seperti Bait Al-Hikmah dan Daar al-ulum di Kairo.
Pada tingkat pendidikan rendah, kurikulum yang diajarkan anatara lain; membaca dan menghafal Al-qur’an, pokok-pokok agama seperti Wudhu’, shalat dan puasa, menulis, kisah orang-orang besar, membaca dan menghafal syair-syair, menghitung dan pokok-pokok nahwu dan sharaf ala kadarnya[50]. Namun bukan berarti kemudian kurikulum ini berlaku untuk semua wilayah. Di Maghribi (Maroko) hanya diajarkan Al-qur’an, menulis dan syair sedangkan di andalusia selain ketiga pelajaran tersebut ditambah dengan khath (tulisan indah) dan pokok-pokok nahwu sharaf. Di Tunisia lebih ditekankan pada hafalan qur’an selain Hadist dan ilmu-ilmu pokok agama.
Waktu belajar di Kuttab dilakukan pada pada pagi hari hingga waktu shalat ashar. Sekolah di mulai dari hari sabtu hingga hari kamis sedangkan pada hari Jum’at sekolah diliburkan. Selain itu pada saat 1 syawal dan idul adha serta hari tasyrik sekolah diliburkan. Jam pelajaran di bagi menjadi tiga yaitu pelajaran al-Qur’an di pagi hari hingga waktu duha, menulis dimulai dari waktu dhuha hingga waktu Dzuhur dan pelajaran ilmu lainnya seperti Nahwu, bahasa Arab, syair dan berhitung dimulai setelah dzuhur hingga ashar[51]. Untuk lebih jelas perhatikan tabel berikut.

No
Waktu
Mata Pelajaran
Keterangan
1
Pagi – waktu dhuha
Al-Qur’an
2
Waktu Duha – Dzuhur
Menulis
3
Dzuhur
Istirahat
Siswa diperbolehkan pulang untuk makan siang
4
Dzuhur - Ashar
Nahwu/ bahasa Arab/ Syair / berhitung
Tabel 1.1. Jadwal Mata Pelajaran Kuttab

Pada tingkat dasar ini, pendidikan tidak menggunakan sistem klasikal, tanpa bangku, meja dan papan tulis. Guru mengajar anak secara satu persatu. Metode yang digunakan adalah metode pengulangan dan hafalan. Artinya guru mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an di depan murid dan murid mengikutinya kemudian murid wajib menghafalkan apa yang disebutnya tadi. Hafalan tersebut tidak hanya sebatas pada hafalan Al-Qur’an dan hadist. Namun juga merembet pada ilmu-ilmu lainnya seperti syair, lagu (wazn) sehingga murid mampu menghafalnya dengan mudah.
Pada jenjang pendidikan menengah, pelajaran yang diajarkan antara lain; Al-Qur’an, bahasa Arab dan kesusasteraan, Fiqih, Tafsir, hadits, Nahwu / Sharaf/balaghah, ilmu-ilmu eksak, mantiq, falak, tarikh, ilmu-ilmu kealaman, kedokteran dan musik[52].
Sedangkan metodologi pengajaran pada masa ini menurut Hasan ‘Abd ‘Al secara garis besar dibagi menjadi dua. Pertama, metode pengajaran bidang keagamaan yang diterapkan pada materi materi seputar Fiqh, tata bahasa, teologi / ilmu kalam, menulis, lagu dan sejarah. Kedua, metode pengajaran bidang intelektual yang meliputi olahraga, ilmu-ilmu eksakta, filsafat, kedokteran dan musik yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab serta ilmu-ilmu kebahasaan[53].
Dalam jenjang pendidikan tinggi, secara umum pendidikan tinggi memiliki dua fakultas. Pertama fakultas Ilmu-ilmu agama serta bahasa dan sastra Arab yang mengkaji ilmu-ilmu berupa, Tafsir, Hadist, fiqih dan ushul fiqih, Nahwu / sharaf, Balaghah, bahasa dan sastra arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah/ Filsafat yang mendalami mantiq (logika), ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu eksakta, ilmu ukur, ilmu falak, ilmu-ilmu teologi, ilmu tentang hewan, ilmu-ilmu tentang tumbuhan, ilmu kedokteran. Pelajaran ini se,muanya diajarkan dan belum memiliki spesifikasi tersendiri. Spesialisasi tersebut ditentukan setelah tamat dari perguruan tinggi berdasarakan bakat dan kecenderungan masing-masing siswa.
Metode yang digunakan dalam pendidikan tinggi adalah halaqah. Guru duduk di atas alas duduk sedangkan siswa melingkari sang guru. Guru memberikan materi kepada semua siswa yang hadir. Sebelum mengajar sang guru menyusun sebuah Ta’liqah atau semacam silabus yang ditulis oleh masing-masing tenaga pengajar berdasarkan catatan perkuliahannya ketika menjadi mahasiswa, hasil bacaan dan pendapatnya tentang materi yang bersangkutan.
Sedangkan metode-metodde pengajaran dilakukan dengan beberapa metode yaitu :
1.         Metode ceramah (Al-Muhadlaroh). Dalam metode ini guru menyampaikan materi kepada mahasiswa dengan diulang-ulang sehingga mereka hafal terhadap yang dikatakannya. Metode ini terbagi menjadi dua cara yaitu: metode dikte (Al-Imla) dan metode pengajuan terhadap guru (Al-Qira’at ‘ala al-syaikh aw al-ardl)
2.         Metode diskusi (Al-Muhadzarah). Metode ini digunakan untuk menguji argumentasi-argumentasi yang diajukan sehingga dapat teruji.
3.         Metode koresponden jarak jauh (al-ta’lim bi al-murasilah). Metode yang digunakan para mahasiswa untuk bertanya pada guru yang jauh secara tertulis pula.
4.         Metode rihlah ilmiah. Metode ini dilakukan oleh para siswa baik secara pribadi maupun secara kelompok untuk datang berkunjung ke rumah ulama untuk berdiskusi, bertukar pikiran dan bertanya tentang suatu permasalahan. Biasanya jarak yang ditempuh cukup jauh[54].
Selain Dinasti Abbasiyah, Dinasti Fatimiyah (Syiah) pun tidak ketinggalan dalam memajukan bidang pendidikan. Panglima Jauhar as-Sakili mendirikan masjid Al-Azhar pada tahun 359 H/ 970 M dan selesai pembangunannya pada tahun 671 M. Di samping sebagai masjid tempat dilaksanakannya sholat jum’at, dalam perkembangannya masjid al-Azhar berkembang menjadi lembaga pendidikan yang cukup besar. Bermula dari fuqaha terkenal dan pejabat-pejabat pemerintahan  Bani fatimiyah yang b erkumpul di Al-azhar untuk mendengarkan kuliah mum yang disampaikan oleh Hakim agung Abu Hanifah Nu’man bin Muhammad al-Qirawani dengan menggunakan prinsip-prinsip syi’ah.
Al-Azhar pun berkembang dengan luar biasa. Tidak hanya ilmu-ilmu keagamaan saja yang diajarkan namun juga ilmu-ilmu umum seperti Kedokteran, musik, Filsafat, matematika dan lain sebagainya diajarkan pula. Namun sejak Shalahudin Al-Ayubi berhasil mematahkan dinasti fatimiyah, Al-Azhar ditutup selama 98 tahun dan baru dibuka saat Sultan Al-zahir Baibars berkuasa.
Bentuk selanjutnya dari lembaga pendidikan Islam adalah Madrasah. Namun hadirnya madrasah tidak mereduksi pendidikan yang telah ada pada kuttab maupun masjid. Perbedaan madrasah dan lembaga pendidikan lainnya terletak pada komplerksitas kurikulum yang diajarkan, tidak terletak pada sistem dan metode pembelajaran[55].
Madrasah-madrasah yang berkembang pada masa ini antara lain;
1.      Madrasah Nizhamiyah. Madrasah ini didirikan oleh pembesar zaman Seljuk dan didirikan oleh Nizhamudin Al-Mulk. Madrasah ini terdapat Baghdad, Balk, Naisyabur, Harat, Isfahan, Basrah, Marw, Mausul dan lain-lain. Namun madrasah Nizhamiyah Baghdadlah yang paling besar. Para guru madarasah ini antara lain  Syiraz, Al-ghazali, Ibnu Shabagh, Al-ghazali, Ibnu Al-Anbar dan lain-lain. Kurikulumnya lebih menitikberatkan pada pendalaman fiqh dan tidak diajarkan ilmu filsafat. Selain fiqh diajarkanm pula ilmu nahwu dan ilmu kalam. Metode pembelajaran yang dikembangkan adalah ceramah dimana guru menjelaskan pembelajaran dan diiringi dengan tanya jawab oleh murid kepada sang guru
2.      Madrasah Nurudin az-Zanki. Madrasah ini didirfikan oleh Nurudin az-Zanki di Damaskus. Fasilitasnya sudah cukup lengkap dengan luas dan kelengkapan kelas serta WC yang tersedia. Kurikulum madrasah ini khusus mengajarkan fiqh mazhab Hanafi dan bahasa Arab. Guru-gurunya yang terkenal adalah Burhanudin Mas’ud dan Imaduddin bin al-Thursusi.
3.      Madrasah Al-Mustanshiriyah. Madrasah ini terletak di Baghdad dan didirikan oleh khalifah al-Mustanshir billah. Fasilitas madrasah ini cukup mewah pada zamannya. Diantaranta terdapat tempat belajar, tenmpat tidur, tempat makan, perpustakaan, rumah sakit, rumah obat, gudang, tempat mandi, dapur, kebun dan masjid. Kurikulumnya adalah mengajarkan Fiqh mazhab empat, hadist, ilmu qur’an, bahasa Arab, kedokteran dan ilmu pasti
4.      Sekolah Kedokteran. Di Damaskus terdapat dua sekolah kedokteran yaitu Al-dahuriyah yang didirikan oleh Muhazzibudin Dakhur dan Madrasah Al-Danishiriyah yangg didirikan Imanudin Al-Danisary. Pengermbangan ilmu kedokteran pun sangat bergantung pada rumah sakit[56].
Di Spanyol pun tidak ketinggalan dalam kegiatan intelektual yang sama. Pusat-pusat kegiatan intelektual berada di Sevilla, Kordova, granada, Murcia, Toledo dan kota-kota lain. Bayak sekolah-sekolah dan perpustakaan yang didirikan dimana mereka memberikan pelajaran bebas mengenai ilmu dan sastra. Salah satu kota yang memiliki kegiatan intelektual paling dinamis adalah Cordova. Ilmu-ilmu seperti Geografi, Astronomi, Kimia, Sejarah dan kesusteraan mewarnai peradaban eropa di abad-abad yang mendatang[57]. Observatorium pun dibangun pada menara Sevila. Ini merupakan observatorium pertama di eropa
Ibnu Khaldun sendiri dalam bukunya Muqaddimah secara panjang lebar menjelaskan tentang ilmu-ilmu yang diajarkan kepada siswa saat ia hidup. Daftar pelajaran tersebut adalah :
  • 1.      Ilmu tafsir dan ilmu qiraat
  • 2.      Ilmu-ilmu hadits
  • 3.      Ilmu fiqih termasuk di dalamnya ilmu tentang hukum waris fiqih
  • 4.      Ilmu faraidl
  • 5.      Ilmu ushul Fiqh dan cabang-cabangnya, dialektika dan soal-soal kontroversial
  • 6.      Ilmu Kalam
  • 7.      Ilmu Tasawuf
  • 8.      Ilmu ta’bir mimpi
  • 9.      Ilmu filsafat
  • 10.  AlJabar
  • 11.  Aritmetika bisnis
  • 12.  Ilmu mekanika
  • 13.  Ilmu pengukuran tanah
  • 14.  Ilmu optika
  • 15.  Astronomi
  • 16.  Ilmu mantiq
  • 17.  Ilmu kedokteran
  • 18.  Fisika
  • 19.  Ilmu pertanian
  • 20.  Metafisika
  • 21.  Ilmu sihir dann Azimat
  • 22.  Ilmu rahasia surat
  • 23.  Ilmu Kimia[58]

4. Masa Kemunduran Pendidikan Islam
            Kemunduran pendidikan Islam ini seiring sejalan dengan kemunduran islam dalam arus peradaban manusia. Hal ini bermula dari jatuhnya Baghdad oleh tentara Tar Tar dan Mongol. Namun bukan hanya akibat serangan itu saja kejatuhan Baghdad terjadi. Philip K Hitti lebih menekankan bahwa keruntuhan negeri 1001 malam itu akibat dari faktor internal antara lain pecahnya persatuan dan kesatuan, pola hidup mewah dan desentralisasi kekuasaan hingga khalifah tidak dapat memantau daerah-daerah jauh yang berkembang menjadi kuat[59].
            Dalam dunia intelektual pun jurang-jurang perbedaan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum semakin dalam. Jika dahulu umat Islam mensinergikan kedua ilmu tersebut, namun yang berkembang pada saat itu adalah filsafat fatalistik yang dianut oleh para sufi dan dalam bidang fiqh menutup pintu ijtihad karena dinilai semua berkaitan tentang fiqh telah final.
            Zuhairini mengutip pendapat M.M Sharif menyatakan bahwa pikiran islam menurun setelah abad ke XIII M dan terus melemah sampai abad ke XVIII M. Diantara sebab-sebab melemahnya pikiran Islam tersebut antara lain:
1.      Telah berkelebihan filsafat Islam yang bercorak sufistik yang dikembangkan oleh Al-ghazali ke dunia timur dan berkelebihan pula filsaffat Ibnu Rusyd yang bersifat rasionalistik ke dunia barat. Semakin lama perbedaan ini semakin lebar hingga corak sufi Al-ghazali lebih bersifat rohaniah fatalistik sedangkan corak filsafat Ibnu Rusyd bermuara pada materialisme[60].
2.      Para pejabat negara serta kaum bangsawan telah melupakan dan melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta tidak memberikan kesempatan untuk berkembang. Para ahli ilmu pengetahuan umumnya terlibat dalam pemerintahan
3.      Terjadinya pemberontakan-pem,berontakan yang diiringi dengan penyerangan dari luar, sehingga menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibatkan berhentinya kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam[61]
Fazlurrahman berpendapat bahwa kemunduran umat Islam dalam kehidupan intelektual antara lain disebabkan oleh; 1) Penutupan pintu ijtihad yang menyebabkan kemacetan dalam bidang ilmu hukum dan ilmu intelektual 2) Pengucilan diri yang disengaja dari kegiatan intelektualisme, 3) Pengucilan diri dari bentuk-bentuk pemikiran keagamaan seperti yang dibawa oleh sufisme[62].
Kegiatan-kegiatan penulisan kitab pun macet total. Kebanyakan adalah pemberian komentar terhadap kitab-kitab ulama yang terdahulu. Lalu komentar-komentar tersebut dikomentari lagi oleh ulama yang lain. Madrasah-madrasah telah berevolusi menjadi zawiyah-zawiyah sufi yang lebih memperhatikan kesalehan individu daripada kesalehan sosial. Riwayat-riwayat yang menjurus pada fatalisme laku keras seperti “Dunia adalah penjara untuk kaum beriman dan surga bagi kaum kafir”, “Barangsiapa yang mengenali dirinya maka akan mengenali Tuhannya” dan lain sebagainya.
Dalam zawiyah-zawiyah tersebut, kurikulum madrasah yang dinamis diganti dengan kurikulum khas sufi yang statis, khususnya di India dimana sejak abad ke 8 karya-karya Al-Suhrawardi dan ibnu Al-“arabi dikaji secara luas. Materi pelajaran pun begitu sederhana. Buku-buku ataupun kitab-kitab yang dipelajari sangat sedikit. Waktu yang digunakan untuk menyelesaikan studi pun demikian singkat. Sehingga wajar kualitas sarjana yang dihasilkan tidak mampu menandingi kualitas sarjana Islam yang muncul di masa lalu[63].

5. Masa Pembaharuan Pendidikan Islam
            Setelah periode kemunduran pendidikan Islam yang diikuti oleh mundurnya Islam dalam kancah peradaban, mulailah muncul kaum pembaharu yang ingin membenahi keadaan tersebut. Setidaknya kaum pembaharu ini terbagi menjadi 3 kelompok pemikiran. Pertama, golongan yang berorientasi pada pola pendidikan modern barat. Mereka berpendapat bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup yang dialami oleh baratadalah sebagai hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern yang mereka capai. Tokoh-tokoh gerakan ini antara lain Muhammad Ali Pasya, dan sultan Mahmud II dari Turki. Kedua, adalah golongan yang melakukan pembaharuan yang berorientasi pada sumber Islam yang murni. Pola ini berpandangan bahwa Islam itu sendiri adalah sumber kemajuan dan kekuatan. Ketika terjadi kemunduran, dipastikan bahwa ajaran Islam sudah tidak orisinil karena tercampuri dengan anasir-anasir asing yang mencemarinya. Tokoh golongan ini adalah Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaludin Al-Afgani, Muhammad Abduh hingga Rasyid Ridho. Ketiga adalah golongan yang berorientasi pada nasionalisme kebangsaan. Rasa nasionalisme itu timbul bersamaan dengan penjajahan dunina brat terhadap negeri-negeri Muslim yang awalnya merdeka. Mereka mendapati bahwa Islam telah menyebar ke segenap negeri dengan karakter masing-masing negeri yang mewarnainya.[64]
            Tak dapat disangkal bahwa pembaharuan pendidikan Islam bergantung pada intensitas hubungannya dengan dunia barat. Termasuk terhadap tokoh-tokoh muslim yang belajar ke barat ataupun melakukan kunjungan ke barat. Faktor lainnya penyebab pemabahruan pemdidikan ini adalah semakin menguatnya cengkraman imperialisme di negara muslim yang menyebabkan Islam tersudut dalam arena politik dan memaksa untuk memikirkan reformasi pendidikan Islam dari pendidikan Islam tradisional[65]
            Setidaknya terdapat dua tipologi modernisasi dalam pendidikan di dunia Muslim, pertama melakukan transformasi pendidikan tradisional seperti madrasah sehingga menjadi modern, terutama dengan memasukan ilmu-ilmu modern dan transformasi kelembagaan. Kedua, mendirikan lembaga pendidikan baru untuk mengakselerasi modernisasi. Pendekatannya cukup menunjukkan terjadinya proses absorpsi yaitu mengadopsi ilmu-ilmu umum modern hanya terbatas pada level tekhnologi dan menolak aspek filosofis yang digunakan untuk mengembangkan tekhnologi tersebut serta menerbitkan jurnal-jurnal untuk menyuarakan modernisasi Islam ke seluruh dunia[66].
            Setiap dunia Islam memiliki pengalaman berbeda mengenai pembaharuan pendidikan ini. Sebagai contoh adalah Mesir. Pembaharuan Islam di Mesir dicanangkan oleh Muhammad Ali Pasha pada abad ke 19. Modernisasi ini dipengaruhi oleh faktor politik dimana Muhammad Ali ingin memperbaharui pasukan militer dan administrasi kenegaraannya. Meskipun demikian lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti Kuttab dan Madrasah terutama yang paling penting sekali adalah Al-Azhar tetap dibiarkan beroperasi malah dijadikan basis rekrutmen murid untuk sekolah-sekolah modern[67]. Al-Azhar pun melakukan pembaharuan pada tahhun 1896 dengan dibentuknya Majelis Idarat Al-Azhar (Dewan administrasi) yang diikuti dengan lembaga lain seperti majelis al-a’laa yang berkaitan dengan anggaran universitas dan Ha’yat Kibaril ulama yang memutuskan perkara berkaitan dengan teologis dan politik. Kurikulum di Al-Azhar berkembang pada masa Mahmud Syaltut (1958-1964) yang membuka fakultas-fakultas umum dan tidak hanya seputar agama belaka[68]
            Jika Mesir mendapatkan ruh pembaharuan dari pemerintahnya, berbeda dengan kasus Aran Saudi yang mendapatkan pengaruh pembaharuan islam dari interaksi dengan wilayah Islam sekitarnya. Haji adalkah salah satu media penyebaran paham pembaharuan tersebut. Madrasah-Madrasah modern di Saudi pada mulanya di bangun oleh Turki Usmani. Sete;ah saudi lepas dari Turki usmani, madrasah-madrasah tersebut menjadi sekolah “Hasyimiyah” yang mengkombinasian antara ilmu pengetahuan agama dan umum[69].




[1]  Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islami (Bandung: Rosda, 2014) hal 1
[2] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (jakarta : Rajagrafindo Persadda, 1999) hal 5-6
[3] Hadist Shahih Riwayat Imam Bukhari, Ijara : 2
[4]   M.M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text From Revelation to Compilation ( Jakarta : Gema Insani Press, 2005) hal. 27
[5]  Ibnu Hisyam, Siroh Nabawiyah Ibnu Hisyam (Jakarta : darul Falah, 2008)
[6]   Kesalahan persepsi ini mengundang banyak orientalis yang menyangsikan keaslian Al-Qur’an dengan mencari – cari perbedaan antara khat – khat Al-Qur’an dari masa ke masa. berdasarkan perbedaan susunan urutan ayat. Hal ini dikritik secara cukup dalam oleh Al-A’zami dalam karyanya. Lihat M.M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text From Revelation to Compilation ( Jakarta : Gema Insani Press, 2005
[7] Ibid, hal 65
[8] Ibid
[9] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta : Bumi Aksara, 2004) hal23-25
[10]   Khalid Muhammad Khalid, 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW (Jakarta : Al-I’tishom : 2007) hlm. 6-8
[11] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta : Bumi Aksara, 2004) hal 27
[12] Ibid, hal 33
[13]  M.M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text From Revelation to Compilation ( Jakarta : Gema Insani Press, 2005) hal 66
[14] Ibid. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Sunan, vi : 125-16
[15] Ibid
[16]  Lihat, Ibnu Hisyam, Siroh Nabawiyah Ibnu Hisyam jilid 1 (Jakarta : Darul Falah, 2005) hal 635
[17] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta : Logos, 1999) hal 15
[18]  M.M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text From Revelation to Compilation ( Jakarta : Gema Insani Press, 2005) ghal 68
[19]   Peristiwa Bir Ma’unah terjadi pada bulan Shafar tahun ke 4 H. Peristiwa ini bermula dari datangnya Abu Bara’ bin Malik bin Ja’far seorang yang jago memainkan tombak menghadap Rasulullah. Ia menolak masuk Islam namun namun tidak ingin jauh dari Islam. Ia mengusulkan agar Rasulullah mengutus pendakwah ke Nejed. Awalnya Rasulullah menolak karena khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk dengan sahabat-sahabat yang diutus. Namun Abu Bara’ menjamin keselamatan mereka. Akhirnya Rasulullah mengutus Al-Mundzir bin Amr bersama –sama empat puluh sahabat yang Hafidz Qur’an. Delegasi itu tiba di Bir Ma’unah yang terletak di antara tanah hitam berbatu Bani Amir dengan tanah hitam berbatu Bani sulaim. Namun lebih dekat dengan tanah berbatu Bani Sulaim. Ketika delegasi tiba di sana dikirimlah Haram bin Milhan mengantarkan surat Rasulullah  kepada Amir bin Thufail. Surat itu tak dibuka malah Haram bin Milhan dibunuh. Amr bin Thufail dan pasukannya akhirnya mengepung Biru Ma’unah dan membunuh semua Qori’ yang diutus Rasulullah SAW, Lih. Lihat, Ibnu Hisyam, Siroh Nabawiyah Ibnu Hisyam jilid 1 (Jakarta : Darul Falah, 2005) hal 151-154
[20]  M.M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text From Revelation to Compilation ( Jakarta : Gema Insani Press, 2005) hal 69-70
[21]  Inilah yang disebut oleh Sejaraawan Pendidikan Islam sebagai Kuttab / Maktab, diambil dari kata Taktib yang artinya mengajar menulis. Sebenarnya Kuttab telah ada sebelum Islam hadir di tanah Arab. Lihat Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam : Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia (Jakarta: Quantum Teaching, 2005) hal 5-12
[22]  M.M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text From Revelation to Compilation    ( Jakarta : Gema Insani Press, 2005al 72-73
[23]   Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta : Bumi Aksara, 2004) hal 43-60
[24]  Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islamu (Bandung : Rosdakarya, 2014) hal 16
[25] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta : Bumi Aksara, 2004) hal 72
[26] Ibid, hal 73
[27] Ibid
[28] Ibid, hal 74
[29]  Ibid, hal 74
[30]  Ibid, hal 75
[31]  Hal ini berdasarkan pada satu riwayat bahwa Abu Bakar mengatakan pada Umar dan Zaid “ Duduklah di depan pintu gerbang Masjid Nabawi. Jika ada orang yang membawa sepotong ayat dari kitab Allah dengan dua orang saksi, maka tulislah” riwayat ini dari Ibnu Abi Dawud dalam al-Mashafi. Lihat M.M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text From Revelation to Compilation ( Jakarta : Gema Insani Press, 2005
[32]  Hal ini berkaitan dengan laporan Hudzaifah bin Yaman dari perbatasan Azerbaijan dan Armenia yang telah menyatukan kekuatan perang Irak dan Suriah melaporkan bahwa terjadi perpecahan di tubuh kaum Muslimin karena membaca Al-Qur’an dengan berbagai macam dialek. Sehingga Hudzaifa mengusulkan disatukannya bacaan Al-Qur’an sebelum perpecahan itu lebih luas terjadi. Ibid, hal 97
[33] Ibid, hal 99-100
[34]   Rihlah bisa dikatakan pula salah satu cara dalam pendidukan kaum Muslimin. Umum diketahui bahwa para ulama tidak hanya memiliki satu guru namun banyak guru bahkan mencapai ratusan dan ribuan guru. Hal ini dapat dengan mudah kita jumpai dalam biografi-biografi para Iamam Hadist seperti Imam Sahmad bin Hanbal, Imam Asy-Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud dan lain sebagainya.
[35]  Hal ini berbeda dengan Bibel. Perhatikan ayat dalam injil berikut ; “Teofilus yang Mulia, Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi antara kita, seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu” (Lukas 1 : 1-3)
Ada celah dimana pengakuan Lukas ini dapat dikritisi kebenaran apa yang ia peroleh dari pelayan firman dan saksi. Pertama, siapa saja mereka yang telah mengabarkannya pada Lukas. Dan kedua apa Metode yang Lukas gunakan dalam penelitiannya. Hal ini tidak tercantum. Nama perawi, apakah ia berbohong atau tidak kita tidak tahu. Hal ini bisa dibandingkan dengan Hadist dimana kita bisa tahu mana Rawi yang pembohong atau Tsiqoh / dapat dipercaya. Sehingga kita mengetahui mana hadist Palsu, Dhoif maupun Shahih karena nama perawi dicantumkan. Belum lagi saksi terhadap perawi tersebut. Lihat Hardiansyah, Menilik Lebih Jauh Penyimpangan Al-Kitab (Buku tidak diterbitkan, 2007)
[36]  Tulisan yang sangat baik dalam hal ini adalah karya MM Al-A’zami yang merupakan guru dari Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’qub, dimana dalam karyanya ini Syaikh Al-A’zami tidak hanya mengupas tentang seluk beluk ilmu hadist namun juga membiuat sanggahan terhadap teori-teori para orientalis mengenai Hadist. Diantaranya adalah teori Goldzhier, Nicholson maupun Scahcht. Lihat Al-A’zami, Hadist Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)
[37] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan islam (jakarta:Logos, 1999) hal 22
[38] Ibid, hal 23
[39] Philip K Hitti, History of The arabs (Jakarta : Serambi, 2008) hal 242
[40] Ibid, hal 292
[41] Ibid, hal 304
[42] Ibid, hal 305
[43] Ibid, hal 312 - 315
[44] Ibid, hal 317-318
[45]  Ibid, hal 320
[46]  Sebenarnya para sejarawan agak bingung untuk menentukan istilah ini. Jika dikatakan keilmuwan Arab, maka tidak hanya ilmuwan Arab yang memainkan peranannya pada periode ini, namun juga ilmuwan-ilmuwan Persia dan daerah liannya. Jika disebut Keilmuwan / Sains Islam juga kurang tepat, karena tidak hanya orang islam yang memberikan kontribusinya pada masa kejayaan pendidikan islam ini. Richard Convington menyebutnya Sains / keilmuwan Arab dengan beralasan walau bagaimanapun, orang arablah yang menjadi kunci pembuka peradaban. Namun Ehsan masood tidak sependapat dengan hal tersebut. Ia cenderung menyebutnya sebagai Sains Islam. Lihat. Richard Convington, Rediscovering Arabic Science (Aramco. May / June 2007). Lihat pula Ehsan Masood, Ilmuwan-ilmuwan Muslim Pelopor hebat di bidang Sains Modern. Diterjemahkan oleh Fahmy Yamani (Jakarta : Gramedia  Pustaka Utama, 2009)
[47] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan islam (Jakarta: Logos, 1999) hal 27
[48] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan islam pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010) hal 165-166
[49]  Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islamu (Bandung : Rosdakarya, 2014) hal 23
[50]  Ibid hal, 24
[51] Ibid, hal 24-25
[52] Ibid
[53] Ibid, hal 25-26
[54] Ibid, hal 27-28
[55]  Arief Subhan, lembaga pendidikan Islam Indonesia abad ke 20 : Pergulatan antara Modernitas dan identitas (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2009) hal 33
[56] Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islamu (Bandung : Rosdakarya, 2014) hal 50-53
[57] Syed Ameer Ali, Api Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978) hal 569
[58] Ibnu Khaldun, Muqaddimah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008)
[59]   Philip K Hitti, History of The arabs (Jakarta : Serambi, 2008) hal 619
[60]   Imam Al-Ghazali telah menulis buku tentang kerancuan filsafat berjudul Tahafut Al-falasifah yang kemudfian dibantah oleh ibnu Rusyd dengan mengeluarkan buku berjudul Tahafut Al-tahafut
[61] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta : Bumi Aksara, 2004) hal 110-11
[62] Fazlurrahman, Islam.(Terj) (Bandung: Pustaka, 1984) hal 270
[63] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta : Bumi Aksara, 2004) hal 113-115
[64] Ibid, hal 117-124
[65] Pandangan ini dikemukakan oleh Albert Hourani seorang sarjana Inggris keturunan Lebanon. Lihat Arief Subchan, Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia abad ke 20: Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2009) hal 30
[66] Ibid, hal 40-41
[67] Ibid, hal 42
[68] Ibid, hal 47-48
[69] Ibid, hal 57


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemikiran Hasan Al-Banna dan Sayyid Qutb dalam pendidikan Islam

BAB I PENDAHULUAN       A.   Latar Belakang Masalah Sejarah telah mencatat para generasi dakwah Islam di era modern akan banyak p...